
Oleh : Abdullah Hehamahua (mantan penasehat KPK RI)
Alhamdulillah, berjumpa lagi di rubrik ini. Dambaanku, pada hari keenam-belas ini, bukan hanya sahur, iftar, tarawih, dan tadarus yang berkualitas, tapi sudah memengaruhi perilaku kita. Sebab, Al-Qur’an sudah kita jadikan sebagai PETUNJUK, PENJELASAN, DAN PEMBEDA.
Indikatornya, kita sudah bisa membedakan, mana makanan dan minuman yang halal serta tayyib. Kita juga sudah bisa menolak pemberian orang yang berasal dari sumber yang tidak halal. Bahkan, kita juga bisa memilih kawan, pimpinan, serta pekerjaan yang baik, benar, dan dedikatif.
Penulis, dengan pemikiran, pemahaman, penghayatan, pengamalan, dan perilaku seperti itulah, malam ini, mengkomunikasikan subtema ”Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum.”
Khutbah Perpisahan Rasulullah SAW
Rasulullah SAW ketika menjalani ibadah haji, menyampaikan khutbah di Padang Arafah yang dihadiri lebih dari 140 ribu orang. Khutbah ini sangat phenomenal dan terkenal dengan sebutan khutbah perpisahan.
Salah satu bagian dari khutbah Rasulullah SAW yang ditampilkan di sini adalah statemen beliau, seperti yang diriwayatkan Jarir RA, bahwa: "Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kamu dua perkara, yang sekiranya kamu berpegang teguh dan mengikuti kedua-duanya, niscaya kamu tidak akan tersesat selama-lamanya. Itulah Al- Qur’an dan Sunnahku."
Seluruh ulama muktabar tempo dulu sampai sekarang, berdasarkan hadis ini, menetapkan, Sumber Hukum Islam adalah: Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekwensi logis dari Al - Qur’an sebagai Sumber Hukum adalah:
1.Semua Peraturan Perundang-undangan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan berantar bangsa yang benar, haruslah merupakan turunan dari Al-Qur’an.
Bidang politik misalnya, sistem pengelolaan pemerintahan dan negara serta pengambilan putusan harus berdasarkan musyawarah. Konsekwensi logisnya, apa pun bentuk negara, baik kerajaan, republik, negara kesatuan, maupun federal, proses pengelolaannya berdasarkan musyawarah.
Hal serupa dengan bentuk pemerintahan. Maknanya, pemerintahan yang berbentuk parlementer atau pun presidensial, proses pengambilan putusan harus berdasarkan musyawarah. Sebagian kalangan menyebutnya dengan istilah ”demokrasi.”
Namun, apa yang disebut sebagai ”demokrasi,” tersebut, sejatinya terdapat perbedaan prinsip dengan amalan dalam Islam. Sebab, prinsip-prinsip pemerintahan Islam yang dikembangkan di Spanyol dan Perancis Selatan, ketika Islam berkuasa di sana, ditularkan ke benua Amerika. Ini karena, ketika warga Perancis memasuki benua Amerika, pola pemerintahan Islam tersebut dipraktikkan di sana.
Namun, dalam proses perkembangan ”demokrasi” di dunia Barat, terjadi pergeseran nilai. Dampak negatifnya, terjadi liberalisasi asas musyawarah tersebut sehingga terjadi perbedaan prinsip diantara demokrasi Barat dan musyawarah dalam Islam. Perbedaan itu, antara lain:
a.Demokrasi, menurut pemahaman Barat adalah kekuasaan di tangan rakyat. Berdasarkan jumlah suara terbanyak dari rakyat melalui Pemilu dan Pilpres, pemerintah dan negara melakukan pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, suara terbanyak itu adakalanya diperoleh secara curang, seperti: ”money politic,” intimidasi, dan manipulasi kertas suara.
Konsekwensi logisnya, dalam suatu negara komunis misalnya di mana warganya tidak bertuhan, maka keputusan pemerintah, selalu komunistis. Sebab, mereka adalah pemenang dalam Pemilu atau Pilpres karena mendapat suara terbanyak. Padahal, kemenangan yang dicapai, diperoleh secara curang.
Tentu di negara komunis itu ada warga negara muslim yang tidak menerima tata kelola pemerintahan sekuler. Namun, disebabkan jumlah suara mereka minoritas, maka pendapat mereka kalah. Bahkan, tidak diakui dan dianggap sebagai pembangkang atau teroris. Mereka kalah dan terpinggirkan, tapi tidak berarti mereka salah.
b. Apa yang disebut sebagai ”demokrasi,” dalam Islam dikenal istilah ”musyawarah.” Islam menetapkan, sistem pemerintahan dan kenegaraan, dilaksanakan berdasarkan kedaulatan yang berada di ”tangan” Allah SWT. Sebab, Allah SWT adalah Perencana, Pencipta, Pemilik, Penguasa, Pentadbir, Pengawas, dan Pemutus segala urusan makhluk-Nya.
Musyawarah dalam Islam, manusia hanya memiliki ”delegation of authotority” dari Allah SWT. Sebab, manusia dilantik oleh-Nya sebagai khalifah di muka bumi. Konsekwensi logisnya, dengan pendelegasian itu, orang yang diberi wewenang, hanya menjalankan tugas yang diberikan Pemberi tugas. Konsekwensi logis lanjutannya, khalifah atau kepala negara. hanya bisa merumuskan kebijakan-kebijakan teknis. Bukan kebijakan substansial. Sebab, nilai-nilai substansial tersebut sudah ditetapkan dalam ketentuan Pemberi Mandat yang tercantum dalam Al-Qur’an.
Logika berpikir seperti inilah, maka dalam musyawarah Islam, tidak boleh ada peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan Al-Quran.
2. Al-Qur’an sebagai Causa Prima, bermakna, ia menafasi seluruh peraturan perundang-undangan, kebijakan dan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.
Al-Qur’an, dalam kontek ini, tentu tidak membicarakan masalah-masalah teknis operasional yang berkaitan dengan aspek muamalah. Sebab, Allah SWT sendiri menghormati ciptaan-Nya yang ada dalam tubuh manusia, yakni: akal, pancaindera, dan qalbu. Apalagi, Al-Qur’an bukan buku teks. Bukan juga buku sains atau novel.
Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang merupakan ”generale principle.” Manusialah yang dengan akal, pancaindera, dan qalb yang diberikan Allah SWT, menjabarkan prinsip-prinisp umum tersebut menjadi ilmu-ilmu terapan.
Al-Qur’an misalnya mengatakan: "Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air, maka mengapakah mereka tidak beriman?" (QS Al Anbiyaa: 30).
Manusia, berdasarkan ayat ini, melakukan pengkajian tentang fungsi dan peranan air dalam kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hasilnya, lahirlah ilmu-ilmu terapan tentang air.
Contoh konkrit lain, Al-Qur’an menetapkan riba sebagai sesuatu yang haram, sedangkan perdagangan, halal hukumnya. Pakar ekonomi Islam, berdasarkan norma tersebut, dapat merumuskan sistem perbankan syariah, asuransi syariah, kredit syariah, investasi syariah, dan lain-lain.
Kesimpulan :
1.Umat Islam wajib mengimani Al-Qur’an sebagai wahyu Allah terakhir yang paling sahih dan sempurna. Konsekwensi logisnya, tidak ada pilihan lain bagi umat Islam, kecuali menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum dan rujukan. Konsekwensi logis lanjutannya, Al-Qur’an menafasi kehidupan sehari-hari, baik secara individual, keluarga, parpol, ormas, yayasan, pemerintahan, kenegaraan, maupun dunia usaha.
2. Al-Qur’an sebagai rujukan dalam berpikir dan bertindak, operasionalisasinya, tidak harus diartikan sebagai pemenang. Namun, ia diyakini sebagai suatu kebenaran. Sebab, yang menang belum tentu benar. Namun, yang benar pasti akan menang. Kalau pun bukan menang di dunia, insyaa Allah di akhirat nanti, kita memenangkan syurga Allah SWT. Konsekwensi logisnya, orientasi seorang muslim/muslimah adalah kebenaran, bukan kemenangan.
Marilah mulai malam ini, anda, saya, kita semua, menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, maupun antarabangsa. Dampak positifnya, kita dapat merebut bendera kebenaran pada 1 Syawal nanti. In syaa Allah !!!*** (Depok, 15 Maret 2025).