
Pendahuluan: Janji Besar, Risiko Lebih Besar?
Pada 3 Maret 2025, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan program ambisius: Koperasi Desa Merah Putih. Dengan target membangun 70.000 koperasi di seluruh Indonesia dan modal Rp 3-5 miliar per desa yang disalurkan melalui Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), program ini digadang-gadang sebagai solusi revolusioner bagi ekonomi pedesaan.
Namun, tidak semua pihak menyambut program ini dengan tangan terbuka. Di Purworejo, misalnya, sejumlah kepala desa justru menolak pembentukan koperasi ini, dengan alasan lebih baik memperkuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang sudah ada. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menanggapi keras, menyebut penolakan itu sebagai pengkhianatan terhadap rakyat. Tetapi, benarkah demikian?
Membedah Janji Ekonomi Desa.
Sebagai inisiatif pemerintah, Koperasi Desa Merah Putih dirancang untuk menciptakan ekosistem ekonomi desa yang mandiri. Setiap koperasi akan mengelola berbagai unit usaha, seperti gerai sembako, apotek desa, klinik kesehatan, hingga unit simpan pinjam. Dengan konsep ini, petani dan pelaku usaha kecil di desa tidak lagi bergantung pada tengkulak atau pinjaman online ilegal yang selama ini mencekik mereka dengan bunga tinggi.
Kebijakan ini juga mendapat dukungan dari Badan Pangan Nasional (Bapanas), yang menilai koperasi dapat memperkuat Cadangan Beras Pemerintah (CBP) serta membantu penyerapan gabah petani dengan harga yang lebih stabil. Jika berhasil, ini bisa menjadi model ekonomi pedesaan yang tangguh dan mampu mengurangi ketimpangan kesejahteraan antara kota dan desa.
Dilema Pembiayaan: Investasi atau Jerat Utang Baru?
Meski tampak menjanjikan, skema pembiayaan program ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah modal Rp 3-5 miliar yang dikucurkan melalui Himbara benar-benar menjadi stimulus atau justru berpotensi menciptakan utang baru bagi desa?
Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa tidak semua inisiatif ekonomi berbasis koperasi sukses. Sejarah mencatat kegagalan banyak koperasi karena tata kelola yang buruk, kurangnya transparansi, dan lemahnya pengawasan. Dalam kasus ini, jika koperasi gagal menghasilkan keuntungan, siapa yang akan menanggung beban utangnya? Apakah kepala desa akan dipaksa menanggung dampaknya secara politik?
BUMDes vs Koperasi: Persaingan atau Kolaborasi?
Para kepala desa yang menolak program ini mengkhawatirkan tumpang tindih fungsi antara BUMDes dan koperasi. Dalam banyak kasus, BUMDes telah berperan sebagai motor penggerak ekonomi desa, sehingga kehadiran koperasi baru justru berisiko menciptakan persaingan yang tidak sehat.
Menteri Koperasi dan UKM Budi Arie menegaskan bahwa koperasi tidak akan mematikan BUMDes, melainkan bekerja sama untuk memperkuat ekonomi desa. Tetapi, tanpa mekanisme koordinasi yang jelas, bukankah ini berpotensi menciptakan konflik kepentingan antara dua lembaga ekonomi desa?
Refleksi: Revolusi Ekonomi atau Agenda Politik?
Jika program ini benar-benar ditujukan untuk membangun kemandirian ekonomi desa, maka pemerintah perlu memastikan beberapa hal:
1. Tata Kelola yang Transparan: Harus ada sistem pengawasan yang ketat untuk mencegah koperasi menjadi ladang korupsi baru.
2. Pelatihan Manajemen: Desa membutuhkan pendampingan agar koperasi dikelola secara profesional dan berkelanjutan.
3. Fleksibilitas Kebijakan: Tidak semua desa memiliki kebutuhan yang sama, sehingga pendekatan one-size-fits-all berpotensi gagal.
Namun, kita tidak bisa menutup mata terhadap kemungkinan lain: apakah program ini murni untuk kepentingan ekonomi, atau ada motif politik di baliknya? Dengan target pembentukan 70.000 koperasi hingga Juli 2025, apakah ini bagian dari strategi politik menjelang Pilpres 2029?
Kesimpulan: Masyarakat Desa di Persimpangan Jalan.
Program Koperasi Desa Merah Putih bisa menjadi langkah progresif atau justru menambah beban desa jika tidak dikelola dengan baik. Kini, masyarakat desa dihadapkan pada pilihan: menyambut peluang ini dengan optimisme, atau menolaknya dengan kewaspadaan?
Dan pertanyaan yang lebih besar: apakah ini benar-benar revolusi ekonomi pedesaan, atau hanya ilusi kesejahteraan yang dikemas dalam jargon politik? ***