
Oleh Acep Sutrisna,
Analis Kebijakan Publik Tasik Utara
Prolog: Mimpi Stabilitas, Realita Defisit
Di tengah ambisi pemerintah untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi, realitas fiskal Indonesia justru menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bahwa hingga 28 Februari 2025, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit sebesar Rp31,2 triliun, atau setara dengan 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini bukan sekadar angka statistik, melainkan sinyal serius bahwa perekonomian Indonesia sedang menghadapi tekanan berat.
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa penerimaan negara turun drastis hingga 20,8% jika dibandingkan tahun sebelumnya? Bisakah Indonesia keluar dari jebakan fiskal ini sebelum terlambat?
Narasi Berlapis: Mengungkap Akar Masalah
1. Pajak Runtuh, Kas Negara Makin Tipis
Salah satu penyebab utama defisit adalah penurunan penerimaan pajak hingga 30,2%. Hingga Februari 2025, kas negara hanya berhasil mengumpulkan Rp187,8 triliun, jauh di bawah target yang diharapkan.
Apa Penyebabnya?
- Harga komoditas utama jatuh: Batu bara, nikel, dan minyak mentah—yang selama ini menjadi tulang punggung penerimaan pajak—mengalami penurunan harga yang signifikan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), harga batu bara turun 25% dan minyak mentah turun 18% dalam setahun terakhir. Akibatnya, setoran pajak dari sektor pertambangan dan energi ikut merosot.
- Reformasi perpajakan yang belum efektif: Perubahan metode pengumpulan pajak yang diterapkan pemerintah, seperti penerapan sistem elektronik dan perluasan basis pajak, belum menunjukkan hasil yang optimal. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pajak, tingkat kepatuhan wajib pajak hanya mencapai 65%, jauh di bawah target 85%. Hal ini menyebabkan kebocoran dalam penerimaan negara.
Di sisi lain, belanja negara tetap tinggi, terutama untuk gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan bantuan sosial, yang mencapai Rp211,5 triliun dari total pengeluaran pemerintah pusat sebesar Rp348,1 triliun.
2. Paradoks Kebijakan: Defisit Naik, tapi Program Ambisius Jalan Terus
Meskipun menghadapi defisit, pemerintah tetap berkomitmen untuk membiayai program-program prioritas, seperti:
- Penyediaan makanan bergizi gratis untuk siswa (anggaran Rp15 triliun)
- Proyek energi nasional (anggaran Rp20 triliun)
- Suntikan modal ke Danantara Indonesia (sovereign wealth fund baru, anggaran Rp10 triliun)
- Investasi ke Bulog dan BUMN pertanian (anggaran Rp8 triliun)
Di satu sisi, ini mencerminkan optimisme pemerintah dalam menjaga stabilitas sosial dan ekonomi. Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan besar: Dari mana dana tambahan akan didapat jika penerimaan pajak terus menurun?
Kontekstualisasi Global-Lokal: Indonesia di Persimpangan Jalan
Defisit fiskal bukan hanya masalah angka, tetapi juga pertaruhan masa depan ekonomi Indonesia. Jika dikelola dengan baik, ini bisa menjadi peluang untuk mendorong reformasi pajak dan efisiensi belanja negara. Namun, jika salah langkah, Indonesia bisa terjebak dalam spiral utang yang sulit dikendalikan.
Sejarah menunjukkan bahwa negara-negara dengan defisit tinggi, seperti Argentina dan Yunani, mengalami krisis ekonomi berkepanjangan akibat salah kelola kebijakan fiskal. Menurut laporan International Monetary Fund (IMF), defisit yang melebihi 3% dari PDB berisiko memicu ketidakstabilan makroekonomi. Akankah Indonesia bernasib sama?
Sementara itu, di tingkat lokal, seperti di Tasikmalaya, dampak defisit ini bisa terasa lebih cepat. Ketergantungan daerah terhadap transfer dana pusat berisiko terganggu, yang dapat berimbas pada layanan publik dan infrastruktur. Menurut data Kementerian Keuangan, 70% daerah di Indonesia masih bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Pertanyaan Retoris: Mungkinkah Ada Jalan Keluar?
- Haruskah pemerintah kembali menaikkan pajak di tengah tekanan ekonomi yang dirasakan rakyat?
- Apakah perlu dilakukan pemotongan anggaran besar-besaran agar defisit tetap terkendali?
- Bisakah Indonesia menemukan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kesehatan fiskal?
Kesimpulan: Waspada, tapi Jangan Panik!**
Meskipun defisit APBN 2025 menjadi alarm bagi ekonomi nasional, ini bukanlah akhir segalanya. Pemerintah memiliki beberapa opsi untuk meningkatkan efisiensi belanja, memperbaiki sistem perpajakan, dan menarik investasi lebih agresif. Beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan antara lain:
1. Reformasi Struktural Pajak: Memperluas basis pajak dengan memasukkan sektor informal dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui insentif dan penegakan hukum yang lebih ketat.
2. Efisiensi Belanja Negara: Mengoptimalkan alokasi anggaran dengan memprioritaskan program-program yang berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi, seperti infrastruktur dan pendidikan.
3. Peningkatan Transparansi: Meningkatkan akuntabilitas pengelolaan anggaran melalui sistem pelaporan yang terbuka dan mudah diakses publik.
4. Diversifikasi Ekonomi: Mengurangi ketergantungan pada sektor komoditas dengan mendorong industri manufaktur dan jasa yang bernilai tambah tinggi.
Yang jelas, masyarakat harus lebih kritis dalam mengawal kebijakan fiskal. Karena pada akhirnya, setiap rupiah dalam APBN adalah uang kita semua! **