
Oleh: Acep Sutrisna, Analis Politik Tasik Utara
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 132/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang mendiskualifikasi H. Ade Sugianto sebagai Calon Bupati Tasikmalaya telah mengguncang dinamika politik daerah. Lebih dari sekadar polemik biasa, keputusan ini membuka ruang bagi pertanyaan serius tentang tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Tasikmalaya. Apakah mereka bisa dituntut secara pidana maupun perdata atas kegagalan Pilkada yang berujung pada pembatalan hasil pilkada dan pemborosan anggaran rakyat?
Artikel ini akan mengupas tuntas isu tersebut.
1. KPU dan Bawaslu: Kelalaian atau Kesengajaan?
Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu memiliki tanggung jawab hukum untuk memastikan bahwa setiap tahapan berjalan sesuai regulasi. Namun, dalam konteks Pilkada Kabupaten Tasikmalaya, terdapat beberapa dugaan kelalaian fatal yang patut dipertanyakan:
KPU : Lembaga ini telah menetapkan H. Ade Sugianto sebagai calon peserta Pilkada tanpa mempertimbangkan aspek hukum yang dapat mendiskualifikasinya. Padahal, verifikasi administrasi dan legalitas calon adalah salah satu kewajiban utama KPU.
Bawaslu : Sebagai lembaga pengawas, Bawaslu gagal melakukan pencegahan atas pencalonan yang bermasalah. Fungsinya sebagai "penjaga gawang" integritas pemilu tidak berjalan efektif.
Keputusan-keputusan KPU yang berkaitan dengan penetapan pasangan calon dan hasil Pilkada telah dibatalkan oleh MK, yang menunjukkan adanya cacat prosedural. Kesalahan ini tidak hanya merugikan kontestan lain tetapi juga menghambur-hamburkan uang negara dalam penyelenggaraan Pilkada yang berujung pada PSU ( Pemilihan Suara Ulang).
2. Analisis Hukum Pidana: Dugaan Pelanggaran Pasal 263 KUHP dan UU Pemilu
Jika ditemukan adanya unsur kesengajaan dalam tindakan KPU dan Bawaslu, maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Berikut adalah analisisnya:
Pasal 263 KUHP : Jika ada indikasi bahwa KPU atau Bawaslu telah memanipulasi data atau keputusan yang berujung pada pencalonan ilegal, mereka dapat dijerat dengan pasal ini. Pemalsuan dokumen atau informasi dalam tahapan pemilu adalah pelanggaran serius.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu : UU ini mengatur bahwa penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran serius dapat dikenakan sanksi pidana dan administratif.
Pasal-pasal terkait penyalahgunaan wewenang menjadi dasar kuat untuk menjerat KPU dan Bawaslu.
Pasal 421 KUHP : Jika terbukti ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan yang dibuat oleh KPU maupun Bawaslu, pasal ini dapat digunakan untuk menuntut pertanggungjawaban pidana.
Jika cukup bukti, maka anggota KPU dan Bawaslu yang terlibat dalam kesalahan prosedural ini bisa dituntut pidana atas dugaan pelanggaran hukum.
3. Gugatan Perdata: Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan Ganti Rugi
Dari perspektif perdata, KPU dan Bawaslu dapat digugat atas Perbuatan Melawan Hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Unsur-unsur PMH yang bisa diterapkan meliputi:
Perbuatan yang melanggar hukum :
Kesalahan dalam penetapan calon yang menyebabkan Pilkada menjadi cacat hukum.
Kerugian : Pemborosan anggaran Pilkada yang berasal dari uang rakyat. Dana yang digunakan untuk kampanye, logistik, dan operasional pemilu bernilai miliaran rupiah, dan semuanya terbuang sia-sia.
Hubungan sebab akibat : Kegagalan Pilkada secara langsung disebabkan oleh kesalahan KPU dan Bawaslu.
Kesalahan pihak tergugat : Jika terbukti ada kelalaian dalam proses seleksi dan pengawasan calon.
Jika gugatan ini dikabulkan oleh pengadilan, maka negara bisa menuntut ganti rugi kepada KPU dan Bawaslu atas dana yang terbuang akibat penyelenggaraan Pilkada yang batal.
4. Implikasi Politik: Krisis Kepercayaan Publik
Selain aspek hukum, kegagalan Pilkada ini memicu krisis kepercayaan terhadap institusi penyelenggara pemilu. Publik kini mempertanyakan integritas KPU dan Bawaslu serta menuntut pertanggungjawaban mereka. Dalam jangka panjang, kegagalan ini dapat merusak legitimasi demokrasi lokal dan memicu ketidakstabilan politik.
Masyarakat mulai skeptis terhadap kemampuan KPU dan Bawaslu dalam menjalankan tugasnya. Jika tidak ada langkah tegas untuk menyelesaikan masalah ini, maka kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi akan semakin menurun.
Kesimpulan:
Langkah Hukum yang Harus Ditempuh
Mengingat besarnya dampak dari keputusan MK ini, ada beberapa langkah hukum yang dapat dilakukan:
Melaporkan dugaan pelanggaran pidana :
Jika ditemukan bukti adanya manipulasi atau penyalahgunaan wewenang, aparat penegak hukum harus bertindak tegas.
Mengajukan gugatan perdata :
Masyarakat atau lembaga negara dapat menggugat KPU dan Bawaslu untuk menuntut ganti rugi atas penggunaan dana publik yang sia-sia.
Menuntut reformasi kelembagaan :
Agar penyelenggaraan pemilu di masa depan tidak mengulang kesalahan serupa, reformasi struktural di tubuh KPU dan Bawaslu harus segera dilakukan.
Kegagalan Pilkada Kabupaten Tasikmalaya ini bukan hanya sekadar kesalahan teknis, tetapi bisa menjadi skandal hukum yang harus diusut tuntas.
Jika KPU dan Bawaslu tidak bisa mempertanggungjawabkan tindakan mereka, maka tidak ada alasan untuk tidak menyeret mereka ke ranah hukum. Uang rakyat yang terbuang harus dipertanggungjawabkan, dan pelaku kelalaian harus dihukum sesuai aturan yang berlaku.***
Acep Sutrisna, Analis Politik Tasik Utara