Oleh : Acep Sutrisna, Tim Analis Gatra
Indonesia baru saja menandatangani kesepakatan investasi senilai Rp157 triliun dengan China. Kesepakatan yang mulanya terkesan mulia ini, di mana dana besar-besaran akan dialokasikan untuk mendukung program makan bergizi gratis, memancing sorotan. Dikenal sebagai investasi di sektor sosial dan ekonomi, kebijakan ini bertujuan meningkatkan gizi masyarakat, khususnya anak-anak dan ibu hamil. Namun, di balik klaim “makan bergizi gratis” ini, kritik dan kekhawatiran mencuat. Apakah ini betul-betul program yang pro-rakyat, ataukah berpotensi menjadi perangkap ekonomi jangka panjang bagi Indonesia?
Bahaya Ketergantungan Ekonomi pada China
Dengan jumlah investasi yang begitu besar, kehadiran dana China di sektor-sektor penting Indonesia hampir tidak bisa dihindari. Ketergantungan ekonomi pada satu negara, terutama negara besar seperti China, berpotensi mengikis kemandirian ekonomi Indonesia. Lantas, apakah kita rela, sebagai bangsa, tunduk pada kepentingan yang mungkin lebih menguntungkan China? Dengan dana yang begitu besar, apakah nantinya setiap keputusan strategis kita, terutama di sektor pangan, hanya akan berjalan atas restu atau bahkan dikendalikan oleh pihak China?
Tak bisa dipungkiri, ketergantungan ini bisa menciptakan ruang bagi China untuk memengaruhi kebijakan dalam negeri Indonesia. Ini bukan lagi soal kesehatan masyarakat yang lebih baik, melainkan tentang pengaruh besar yang dapat mengarahkan Indonesia pada ketergantungan ekonomi jangka panjang, bahkan pada keputusan strategis yang berkaitan dengan sumber daya nasional.
Beban Utang dan Jebakan Finansial
Berapa banyak yang tahu bahwa investasi sebesar ini sering kali datang dengan “harga yang tersembunyi”? Utang yang harus ditanggung Indonesia dari kesepakatan seperti ini berpotensi sangat besar, terutama jika hasil yang dijanjikan tidak tercapai. Jika ekonomi Indonesia tidak berkembang sesuai harapan atau jika proyek gagal memenuhi target, negara akan terbebani utang yang besar dan pembayaran bunga yang tinggi. Ini bisa mengakibatkan anggaran negara tersedot untuk membayar utang alih-alih dialokasikan untuk sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan.
Indonesia perlu bertanya pada dirinya sendiri: apakah kita siap menanggung risiko tambahan ini demi klaim makan bergizi gratis, yang bisa saja malah menyedot dana publik untuk melunasi kewajiban utang yang tak kunjung usai?
Korupsi dan Pengawasan Dana, Apakah Bisa Dipercaya?
Investasi besar sering kali membawa celah besar untuk penyalahgunaan dan korupsi, terutama jika pengelolaan dana tidak transparan. Tanpa pengawasan ketat, proyek makan bergizi ini berpotensi menjadi ladang subur bagi praktik-praktik korupsi dan penyelewengan dana. Sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa proyek besar dengan pengawasan lemah cenderung dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Bayangkan, bantuan makanan bergizi yang seharusnya mengalir ke masyarakat bisa saja terhenti di tengah jalan karena ulah tangan-tangan kotor yang memanfaatkan dana tersebut.
Jika dana bantuan tidak dikelola dengan transparan dan akuntabel, bukankah rakyat yang menjadi korban? Rakyat yang seharusnya mendapat manfaat justru akan terus terjebak dalam kemiskinan karena dana yang sudah dialokasikan tidak pernah sampai.
Kehilangan Kendali atas Infrastruktur dan Sumber Daya
Saat ini, kendali atas infrastruktur Indonesia perlahan mulai tergantung pada pihak luar, dan dalam kasus ini, China. Proyek besar seperti ini biasanya melibatkan logistik, distribusi, dan pengelolaan yang bisa saja diatur oleh pihak investor. Jika pengelolaan berada di tangan asing, Indonesia berisiko kehilangan kendali atas aspek penting infrastruktur nasionalnya sendiri. Ini bukan hanya soal distribusi makanan bergizi, melainkan soal kedaulatan yang terus tergerus.
Saat bangsa lain mengendalikan distribusi dan logistik Indonesia, apakah kita benar-benar berdaulat atas sumber daya dan pangan yang ada di tanah kita sendiri? Dalam jangka panjang, ini bisa merugikan kepentingan nasional dan melemahkan kekuatan dalam negeri.
Resistensi Lokal dan Konflik Sosial
Tidak semua masyarakat setuju dengan kebijakan yang berhubungan erat dengan investor asing. Keberadaan proyek besar, terutama yang tidak sepenuhnya dikelola oleh Indonesia, akan memicu resistensi dari masyarakat lokal. Ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan bisa tumbuh, terlebih ketika masyarakat merasa bahwa kebijakan ini justru lebih menguntungkan pihak asing daripada rakyat Indonesia sendiri.
Pemerintah Indonesia perlu berhati-hati agar tidak menciptakan konflik sosial di dalam negeri karena ketidakpuasan masyarakat terhadap proyek-proyek yang mengutamakan pihak asing. Jika masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada pemerintah, dampaknya bukan hanya ekonomi, tetapi juga kestabilan politik.
Dampak Terhadap Ketahanan Pangan dan Pertanian
China terkenal dengan kepentingannya yang luas di sektor pertanian dan agribisnis. Apabila kesepakatan ini tidak benar-benar menguntungkan Indonesia, sektor pangan dan pertanian bisa berada dalam kendali pihak asing. Dengan ketergantungan yang meningkat, intervensi dalam sektor pangan dan ketahanan pangan bisa menjadi risiko nyata bagi bangsa ini. Bayangkan, jika pengambilan keputusan di sektor pangan kita harus selalu menunggu persetujuan pihak asing—apa artinya ini bagi ketahanan pangan kita?
Kesimpulan: Makan Gratis atau Perangkap Ekonomi?
Kesepakatan investasi China-Indonesia senilai Rp157 triliun memang menjanjikan bantuan besar bagi sektor sosial dan ekonomi. Namun, di balik janji makan bergizi gratis ini, risiko ketergantungan ekonomi, beban utang, korupsi, dan pengikisan kedaulatan mengintai di depan mata. Apakah Indonesia siap menghadapi risiko ini?
Investasi besar bukanlah hal yang selalu membawa dampak positif. Di sisi lain, pemerintah perlu mengambil langkah hati-hati dalam menerapkan kebijakan ini agar dampaknya benar-benar positif dan tidak menjadi bumerang bagi kedaulatan ekonomi Indonesia. Tanpa pengawasan ketat dan transparansi, makan bergizi gratis ini bisa menjadi awal dari perangkap***AS