TINDAK, Jakarta - Pelantikan Presiden Prabowo Subianto menandai dimulainya babak baru dalam sejarah Indonesia. Dalam pidato pelantikannya, Prabowo menyampaikan visi besar yang ambisius: membawa Indonesia menjadi lumbung pangan dunia dalam empat tahun ke depan. Sebuah target yang berani dan inspiratif, di tengah ketergantungan global pada impor pangan dan energi. Tapi, apakah Indonesia benar-benar siap? Mari kita lihat lebih dekat janji dan tantangan di balik ambisi ini.
Swasembada Pangan: Target Berani Prabowo
Presiden Prabowo, dalam pidatonya, menekankan pentingnya swasembada pangan sebagai prioritas utama pemerintahannya. Menurutnya, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi produsen pangan dunia dengan kekayaan alam yang melimpah, seperti sawit, singkong, hingga sumber energi geothermal. Prabowo optimis, dalam empat hingga lima tahun ke depan, ketergantungan Indonesia pada impor bisa diakhiri, bahkan berbalik menjadi eksportir utama pangan.
Namun, swasembada pangan bukanlah perjalanan yang mudah. Tantangan besar, mulai dari infrastruktur pertanian yang belum merata, teknologi yang tertinggal, hingga isu keberlanjutan lingkungan, masih menghadang di depan. Pemerintah perlu memastikan adanya pembangunan infrastruktur yang mendukung distribusi pangan di seluruh pelosok negeri, serta menghadirkan inovasi teknologi pertanian modern.
Indonesia Jadi Lumbung Pangan Dunia?
Visi Prabowo untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia tidak hanya fokus pada kebutuhan domestik, tetapi juga pada peran Indonesia dalam krisis pangan global. Dunia yang semakin terhubung menempatkan Indonesia pada posisi strategis untuk menjadi pemain utama dalam pasar pangan global. Namun, tantangan lingkungan seperti perubahan iklim dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan menjadi isu yang tak bisa diabaikan.
Banyak yang bertanya, apakah target ini realistis? Pasar pangan global sangat fluktuatif, dan Indonesia harus bersaing dengan negara-negara yang sudah lebih dulu maju dalam teknologi pertanian. Jika visi besar ini bisa diwujudkan, Indonesia bukan hanya mengamankan ketahanan pangan nasional, tetapi juga menjadi motor penggerak ekonomi global.
Perang Melawan Korupsi
Selain fokus pada pangan dan energi, Prabowo juga menyoroti perlunya penanganan korupsi. Ia menegaskan bahwa korupsi masih menjadi “penyakit” di Indonesia, dan ia berjanji untuk memperbaiki birokrasi dengan memperkenalkan sistem digitalisasi untuk menutup kebocoran anggaran. Ini bukan janji baru dalam sejarah politik Indonesia. Banyak presiden sebelumnya juga berjanji akan memberantas korupsi, tapi hasilnya belum sepenuhnya memuaskan.
Prabowo tampaknya memahami bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya soal menindak para pelaku, tetapi juga memperbaiki sistem dari dalam. Digitalisasi birokrasi mungkin menjadi salah satu solusi, namun tantangan dalam pelaksanaannya, terutama di daerah-daerah terpencil, masih besar. Apakah digitalisasi akan mampu menjadi senjata pamungkas melawan korupsi di negeri ini? Waktu yang akan menjawab.
Ketahanan Nasional: Tantangan di Tengah Krisis Global
Pidato Prabowo juga mengingatkan pentingnya ketahanan nasional, terutama di tengah meningkatnya ketidakstabilan global. Dengan krisis pangan dan energi yang mengintai, Prabowo mengajak seluruh elemen bangsa untuk siap menghadapi segala kemungkinan terburuk, bahkan ancaman perang. Pesan ini mencerminkan pandangan realistis Prabowo bahwa ketahanan nasional harus dibangun dari dalam, dengan memperkuat fondasi ekonomi dan sumber daya alam.
Namun, kebijakan proteksionis ini juga bisa menuai kritik, terutama jika Indonesia terlalu fokus pada penguatan dalam negeri dan mengabaikan peran diplomasi global. Di era ketergantungan global saat ini, Prabowo harus cermat dalam menyeimbangkan fokus pada ketahanan nasional dan peran aktif di kancah internasional.
Digitalisasi Kesejahteraan: Solusi atau Tantangan Baru?
Salah satu inovasi yang ditawarkan Prabowo adalah penggunaan teknologi digital untuk mendistribusikan subsidi langsung kepada rakyat miskin. Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa bantuan sosial tepat sasaran dan mencegah kebocoran anggaran. Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah Indonesia sudah siap untuk implementasi digitalisasi di seluruh pelosok negeri?
Dengan infrastruktur internet yang masih belum merata dan literasi digital yang rendah di sebagian besar masyarakat, kebijakan ini mungkin menghadapi tantangan besar dalam pelaksanaannya. Selain itu, potensi penyalahgunaan data juga menjadi perhatian penting dalam penerapan sistem digital yang baru.
Kepemimpinan yang Berpihak pada Rakyat Kecil?
Gaya kepemimpinan Prabowo dalam pidatonya sangat menekankan pada nasionalisme dan pengorbanan rakyat kecil. Ia kembali mengingatkan tentang pentingnya persatuan dan solidaritas sosial, seraya menekankan peran penting wong cilik dalam membangun bangsa. Namun, seperti yang sering terjadi dalam politik Indonesia, retorika ini bisa saja sekadar simbolis jika tidak diikuti oleh langkah konkret.
Masyarakat tentunya mengharapkan aksi nyata, bukan hanya retorika. Pertanyaannya, apakah Prabowo bisa memberikan solusi konkret untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial? Ini akan menjadi ujian bagi kepemimpinannya selama empat tahun kelantikan Presiden Prabowo Subianto menghadirkan harapan besar bagi masa depan Indonesia. Ambisi untuk mencapai swasembada pangan dan energi serta memerangi korupsi adalah visi yang patut diapresiasi. Namun, tantangan di balik visi tersebut tidaklah mudah. Prabowo perlu membuktikan bahwa retorikanya dapat diterjemahkan menjadi kebijakan yang konkret dan berdampak positif bagi rakyat.
Indonesia siap menuju lumbung pangan dunia? Waktu akan membuktikan apakah visi besar ini bisa terwujud atau hanya menjadi janji manis yang sulit tercapai. Yang pasti, empat tahun ke depan akan menjadi momen penting untuk melihat apakah Indonesia benar-benar bisa berdiri di atas kaki sendiri dalam ketahanan pangan dan energi.***
Penulis: Acep Sutrisna, Analis Politik Gatra ( Gabungan Aktivis Tasik Utara )