Demokrasi, dalam idealnya, merupakan sistem politik yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, kebebasan, dan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Namun, semakin hari, kita melihat bahwa demokrasi di berbagai negara mulai mengalami erosi. Fenomena ini terjadi bukan karena kelemahan dalam konsep dasar demokrasi itu sendiri, tetapi karena para penguasa berhasil memanipulasi instrumen-instrumen demokrasi untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Ketika instrumen demokrasi, seperti pemilu, lembaga perwakilan, dan kebebasan berekspresi, disalahgunakan, demokrasi berubah menjadi senjata penguasa untuk melegitimasi otoritarianisme terselubung.
Pemilu: Dari Instrumen Rakyat Menjadi Legitimasi Penguasa
Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu pilar utama demokrasi. Di sinilah rakyat diberi kesempatan untuk memilih pemimpin yang akan mewakili mereka dan menjalankan pemerintahan sesuai dengan kehendak mayoritas. Namun, dalam banyak kasus, pemilu yang seharusnya menjadi sarana demokratis justru menjadi alat bagi penguasa untuk memperpanjang kekuasaannya.
Beberapa negara telah memperlihatkan pola di mana pemilu dilakukan secara reguler, tetapi hasilnya selalu menguntungkan petahana atau partai yang berkuasa. Ini terjadi karena adanya manipulasi dalam sistem pemilihan, seperti pembatasan calon oposisi, penggunaan intimidasi, pembelian suara, hingga penguasaan media massa untuk mengarahkan opini publik. Akibatnya, pemilu yang seharusnya menjadi simbol kedaulatan rakyat, malah berubah menjadi legitimasi semu bagi kekuasaan otoriter.
Contoh nyata dapat kita lihat di beberapa negara di Afrika dan Asia di mana pemimpin yang berkuasa selama beberapa dekade terus memenangkan pemilu, meskipun ada laporan pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan ketidakadilan. Para penguasa menggunakan pemilu sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan internasional atas pemerintahan mereka, meskipun demokrasi di negara tersebut sudah kehilangan maknanya.
Lembaga Perwakilan: Dari Suara Rakyat Menjadi Boneka Kekuasaan
Selain pemilu, lembaga perwakilan seperti parlemen atau dewan perwakilan rakyat (DPR) merupakan elemen penting dalam demokrasi. Lembaga ini diharapkan menjadi suara rakyat yang memperjuangkan kepentingan publik dan mengawasi jalannya pemerintahan. Namun, dalam banyak kasus, lembaga-lembaga ini telah kehilangan perannya sebagai pengawas kekuasaan dan malah menjadi alat bagi penguasa untuk melanggengkan kepentingan mereka.
Para penguasa yang memiliki kendali kuat atas partai politik seringkali dapat memastikan bahwa mayoritas anggota parlemen adalah pendukung setia mereka. Dengan kontrol ini, penguasa dapat memanipulasi pembuatan undang-undang dan kebijakan untuk menguntungkan kelompok mereka, sekaligus mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Lembaga perwakilan yang seharusnya kritis terhadap kekuasaan malah menjadi lembaga yang pasif dan tidak berdaya dalam menghadapi penyalahgunaan kekuasaan.
Kebebasan Berekspresi: Dari Hak Rakyat Menjadi Alat Kontrol
Salah satu ciri khas dari demokrasi adalah adanya kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Kedua hal ini menjadi fondasi penting bagi rakyat untuk menyuarakan pendapat mereka dan mengawasi tindakan pemerintah. Namun, dalam konteks krisis demokrasi, kebebasan berekspresi seringkali menjadi sasaran utama penguasa yang ingin mempertahankan cengkeramannya atas kekuasaan.
Penguasa yang otoriter, meskipun tetap mengklaim sebagai demokratis, sering kali menekan media independen, mengintimidasi jurnalis kritis, dan menggunakan undang-undang yang mengekang kebebasan berbicara untuk membungkam kritik. Bahkan, mereka memanfaatkan teknologi modern, seperti media sosial, untuk menyebarkan propaganda dan memanipulasi informasi yang sampai kepada rakyat. Akibatnya, ruang publik yang seharusnya menjadi tempat untuk diskusi bebas, berubah menjadi ajang pembentukan narasi tunggal yang dikendalikan oleh kekuasaan.
Kebebasan berekspresi yang dikekang ini menciptakan ketakutan di masyarakat untuk bersuara. Mereka yang berani mengkritik penguasa atau mengungkapkan pandangan yang berbeda seringkali menghadapi ancaman hukum, pemidanaan, atau bahkan kekerasan. Dengan cara ini, penguasa berhasil menggunakan instrumen demokrasi—seperti undang-undang kebebasan berpendapat—untuk menekan oposisi dan menjaga stabilitas kekuasaan mereka.
Partisipasi Publik: Dari Keterlibatan Aktif Menjadi Formalitas
Dalam demokrasi sejati, partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan adalah hal yang mutlak. Rakyat harus dilibatkan dalam merumuskan kebijakan yang akan berdampak pada kehidupan mereka. Namun, dalam banyak kasus, partisipasi rakyat hanya menjadi formalitas tanpa makna yang sesungguhnya.
Penguasa seringkali mengadakan konsultasi publik atau forum diskusi, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan mereka. Suara rakyat yang dihasilkan dari forum-forum tersebut tidak jarang diabaikan, atau hanya dijadikan pembenaran untuk kebijakan yang sudah diputuskan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi publik, yang seharusnya menjadi inti dari demokrasi, telah direduksi menjadi alat penguasa untuk menunjukkan bahwa mereka "demokratis", padahal esensinya sudah hilang.
Apa yang Dipertaruhkan?
Ketika instrumen-instrumen demokrasi—pemilu, lembaga perwakilan, kebebasan berekspresi, dan partisipasi publik—disalahgunakan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaan mereka, yang dipertaruhkan bukan hanya masa depan politik, tetapi juga hak-hak dasar rakyat. Demokrasi yang berfungsi sebagaimana mestinya memberi rakyat kendali atas nasib mereka sendiri. Namun, ketika demokrasi dijadikan alat bagi penguasa untuk melegitimasi otoritarianisme, rakyat menjadi korban dari sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Krisis demokrasi yang kita hadapi saat ini memerlukan perhatian serius dari seluruh elemen masyarakat. Demokrasi tidak bisa dibiarkan hanya menjadi formalitas yang kosong makna, sementara kekuasaan semakin tersentralisasi di tangan segelintir elite. Pemulihan demokrasi memerlukan komitmen untuk memperkuat lembaga-lembaga demokratis, memastikan kebebasan berekspresi yang sebenarnya, dan mengembalikan partisipasi rakyat sebagai esensi dari sistem ini.
Pada akhirnya, demokrasi adalah sistem yang paling baik untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua. Namun, jika instrumen demokrasi terus-menerus disalahgunakan, sistem ini akan runtuh, dan yang tersisa hanyalah cangkang kosong yang melegitimasi kekuasaan tanpa batas.***Penulis adalah Pembina/penasehat media TINDAK