Mungkin saja tulisan berikut ini dinilai sederhana dan tidak ilmiah. Penilaian itu tidak terlalu salah. Akan tetapi seharusnya dipertimbangkan bahwa tidak semua yang tergolong ilmiah selalu berhasil menjawab persoalan kehidupan, dan sebaliknya yang tidak ilmiah selalu gagal.
Betapa banyak orang bertanya dan berusaha mencari jawab terkait cara mengubah perilaku seseorang. Atas pertanyaan itu sudah sedemikian banyak jawaban yang dihasilkan, namun ternyata tidak mampu menyelesaikan persoalan itu. Misalnya, melalui pendidikan, diyakini bahwa seseorang dapat diubah menjadi jujur, dermawan, tulus, dan ikhlas. Akan tetapi pada kenyataannya, banyak orang yang telah lama mengenyam pendidikan, tetapi masih saja berbohong, suka menipu, sombong, bakhil, korupsi dan sejenisnya.
Demikian pula, banyak pejabat pemerintah, pengelola perusahaan, atau pekerja di bidang apa saja yang mereka itu pasti berpendidikan tetapi masih ditemukan melakukan penyimpangan, korupsi, menyalah-gunakan wewenang, dan lain-lain. Kenyataan tersebut pertanda bahwa lulusan pendidikan setinggi apapun belum menjamin mampu mengubah perilaku seseorang sebagaimana yang diharapkan.
Mengubah watak atau karakter, sebenarnya bisa dilakukan melalui shalat. Namun juga lagi-lagi, pada kenyataannya banyak orang yang sehari-hari menjalankan shalat, tetapi perilakunya tidak mudah dibedakan dari orang yang tidak shalat. Mereka itu masih belum mampu menahan keinginannya dari berebut berbagai jenis kesenangan, seperti kekuasaan, uang, fasilitas, dan lain-lain. Konflik dan permusuhan yang tidak jelas orientasinya masih dilakukan oleh orang yang rajin menjalankan shalat. Seakan-akan, shalatnya belum menjadi kekuatan untuk menseleksi antara perbuatan yang mendatangkan kemaslahatan atau yang membahayakan kehidupannya.
Membaca kenyataan tersebut bukan berarti bahwa shalat tidak berhasil mengubah perilaku seseorang, melainkan yang harus dilihat kembali adalah kualitas shalat yang bersangkutan. Shalat yang mampu mengubah perilaku seseorang adalah shalat yang benar-benar khusu'. Sebagaimana tujuan ibadah puasa adalah agar meraih derajad taqwa. Akan tetapi dinyatakan di dalam Hadits Nabi, banyak orang menjalankan puasa tidak memperoleh dari puasanya kecuali lapar dan dahaga. Begitu pun shalat, banyak orang menjalankan shalat tetapi tidak memperoleh manfaat dari shalatnya kecuali sekedar menggugurkan kewajibannya.
Selama ini banyak orang berdiskusi, berdebat, dan bahkan berbantah tentang pelaksanaan shalat. Akan tetapi yang dijadikan bahan perbantahan bukan menyangkut hakekat shalat, melainkan baru sebatas teknis pelaksanaan ibadah itu. Misalnya, tentang apakah harus membaca ushalli di setiap mengawali shalat atau tidak, membaca doa qunut atau tidak, cara meletakkan kedua tangannya apakah dijatuhkan jurus atau bersedekap, menggerakkan telunjuk jari ketika membaca tasyahud atau tidak, dan semacamnya. Berdiskusi tentang hal tersebut penting, akan tetapi kiranya ada yang lebih penting lagi adalah terkait hakekat shalat itu sendiri. Dengan mendasarkan pengertian yang benar maka ibadah tersebut berhasil dijalankan secara tepat dan khusu'.
Seringkali kita mendengarkan penuturan tentang pengalaman orang yang menjalankan shalat. Setelah membaca takbirotul ihram, banyak orang mengaku secara jujur menyebutkan bahwa mereka justru mengingat berbagai hal. Pikiran mereka pergi ke mana-mana yang tidak selalu ada kaitannya dengan shalat. Di dalam shalat, mereka justru ingat berbagai hal, misalnya tentang pekerjaan, rumah tangga, bisnis, usaha dan lain-lain. Shalat yang demikian itu disebut belum khusu'. Shalatnya telah dikerjakan, tetapi belum mendapatkan apa-apa dari ibadah yang dilakukannya itu. Sebaliknya, seharusnya shalat dilaksanakan dengan khusu'. Disebut bahwa sholatnya khusu', manakala dalam ibadah itu merasakan bertemu dengan Allah. Shalat yang demikian itu akan menjadi kekuatan untuk mengubah perilaku yang bersangkutan. Wallahu a'lam.
Mengutif dari tausiah ustadz Adi Hidayat. Sholat yang dilakukan dengan benar menurut Al-Qur'an, selain memberikan manfaat ketenangan jiwa, juga dapat membimbing pelakunya untuk terhindar dari perbuatan fahsya dan Munkar,
Fahsya dan mungkar sendiri merupakan dua jenis keburukan yang mana artinya adalah perbuatan yang bertentangan dengan Wahyu serta perbuatan yang bertentangan dengan akal.
Jadi, jika seorang hamba mengerjakan sholat dengan benar, maksudnya ialah khusyuk hati dan pikiran tertuju pada Allah SWT, serta juga gerakannya tidak malas, maka ada sesuatu yang menggerakkan dirinya untuk menjauhi maksiat.
Sadar atau tidak sadar, saat sholat yang dilakukan suatu hamba tersebut sudah mulai benar, sudah mulai Istiqomah dan khusyuk, maka orang tersebut tidak akan mudah lagi dalam berbuat maksiat.
Dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 45, Allah SWT berfirman:
Was ta'inu bishobri wa Sholah, wa innahaa lakabiirah illa 'alaa khosyi'iin"
Artinya: Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan sholat. Sesungguhnya sholat itu benar-benar berat, kecuali bagi orang yang khusyuk.
Maksudnya ialah, apapun yang terjadi dalam menjalani kehidupan, sesusah apapun jalannya jangan sampai meninggalkan sholat.
Karena sesungguhnya, sholat juga sebagai penenang jiwa yang sedang gelisah karena perkara dunia.
Dengan mengerjakan sholat, Allah akan menghadirkan kekhusyukan dalam diri hambanya sehingga tidak lagi memikirkan maksiat. ***Redi