Pengakuan Tomy Winata pendiri Group Artha Graha yang menjadi tokoh sentral dari perencanaan pemanfaatan pembangunan di Pulau Rempang, memang akan mengucurkan dana investasi Rp 381 triliun melalui PT. Makmur Elok Graha untuk Rempang Eco City. Dia juga juga mengungkap awal mulanya proyel itu bukan inisiatif dari pihaknya termasuk zonasi Pulau Rempang itu. Pihak PT. Makmur Elok Graha justru menerima hasil keputusan rapat antara BP Batam bersama DPR RI.
Hasil rapat, katanya yang ditawarkan kepada PT. Makmur Elok Graha lewat Tomy Winata agar dapat menggunakan lahan di Pulau Rempang seluas 7.500 hektar dari luas keseluruhan Pulau Rempang sekitar 17.000 hektar. (Majalah Tempo, 18 September 2023).
Masalahnya yang menjadi gaduh, karena lahan seluas yang hendak dipakai pihak investor terkesan meliputi seluruh gugusan Pulau Rampang. Akibatnya, seluruh warga yang sudah sejak lama hidup di Pulau Rempang jadi harus digusur, dikosongkan dan dibuldozer. Padahal lahan proyek yang diperlukan, seperti kata Tomy Winata, hanya 7.500 hektar saja. Lagian, pabrik yang akan dibangun di Pulau Rempang akan mengubah bahan baku menjadi bahan jadi yang bisa memberi nilai tambah dan menyerap banyak pekerja tak kurang 35.000 orang, kata Tomy Winata seperti yang sudah banyak dilansir oleh berbagai media. Dan penduduk setempat tidak pernah menolak investasi yang akan masuk ke Indonesia, termasuk di Pulau Rempang. Karena yang utama bagi warga setempat adalah dapat ikut serta dalam pembangunan yang dilakukan. Sehingga tingkat kesejahteraan bisa semakin baik.
Xinyi Glass Holding Limited, diakui juga oleh Tomy Winata kelak akan membuat pabrik pasir silika, pasir kuarsa, solar panel, energi baru dan terbarukan yang dapat dipastikan bisa memberi lapangan kerja baru kepada 35.000 orang. Tentu harus segera diingat jumlah pekerja sebanyak itu bukan tenaga kerja asing, seperti yang telah menimbulkan keresahan dan kekhawatiran masyarakat luas, karena masuknya tenaga kerja asing yang terkesan loss kontrol dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tentu saja keuntungan dari pembangunan ini bagi pemerintah akan mendapat masukan pajak yang lumayan besar. Dan warga masyarakat sekitarnya bisa ikut menikmati perbaikan taraf hidup dengan cara membuka usaha, mulai dari pemasok bahan pangan hingga kebutuhan untuk pekerja sehari-hari serta tempat tinggal ysng disewakan kepada sejumlah pekerja yang memerlukan tempat tinggal sementara.
Jadi jekas warga masyarakat Pulau Rempang tidak akan pernah mempersoalkan atau menolak kehadiran perusahaan apapun yang ingin melakukan investasi di Pulau Rempang -- atau bahkan di daerah manapun di Indonesia -- asalkan tidak membuat masalah dan tidak merugikan rakyat. Lalu mengapa harus ada gerakan pengosongan penduduk dari tanah kelahiran dan peninggalan para leluhurnya itu. Lantas, kok harus ada insinuasi akan memiting dan buldozer dan ancaman untuk mengosongkan lahan yang telah dihuni sejak 300 tahun lalu itu ?
Pemahaman warga bangsa Indonesia -- tak hanya warga masyarakat Pulau Rempang -- bahwa investasi pasti akan menggerakkan roda ekonomi, khususnya bagi warga masyarakat setempat. Bahkan dengan investasi itu bisa memberi banyak nilai tambah bagi warga bangsa Indonesia lainnya. Karena itu warga masyarakat dapat dipastikan setuju dan tidak sama sekali keberatan datangnya modal asing. Namun yang menjadi keberadaan rakyat adakah perlakuan yang merusak dan merugikan banyak pihak, termasuk alam lingkungan sekitarnya yang harus ikut dijaga agar tidak sampai merugikan satu orang pun warga bangsa Indonesia. Apalagi kemudian arogan hendak menyingkirkan warga masyarakat yang sudah memiliki sejarah panjang bersama para leluhur mereka di tanah kelahiran yang telah mereka huni sejak ratusan tahun silam.
Padahal, menurut Tomy Winata yang telah cukup berjasa mengajak investor tertarik dan ingin masuk menanamkan modal usahanya di negeri kita, patut disyukuri dan dijaga dengan baik, sehingga tidak perlu terjadi masalah yang merusak dan merugikan bangsa Indonesia yang masih perlu banyak membangun agar pengangguran di negeri kita dapat segera teratasi. Toh, jumlah orang miskin dan pengangguran dapat ditekan sampai titik nol dengan banyaknya investasi yang dikembangkan di negeri kita.
Kemampuan dari Tomy Winata untuk membawa masuk investor ke Indonesia, patut diapresiasi dan dilihat lebih positif. Toh, kesulitan yang telah dialami langsung oleh pemerintah untuk menggaet para pemilik modal mau masuk kd Indonesia terbukti tidak gampang. Seperti IKN (Ibu Kota Negara) Nusantara di Kutai Kertanegara yang tersendat-sendat, meski telah dipaksakan dengan berbagai cara, hingga bonus untuk menempati lahan di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur itu diberi konsesi sampai 190 tahun.
Jadi sungguh semakin tidak rasional bila masih hendak mengusir atau membuldoser penduduk Pulau Rempang yang bisa dimanfaatkan tenaga dan potensinya untuk ikut serta dalam pembangunan atau proyek raksasa itu. Sebab hanya dengan begitu idealisme pemerintah untuk melakukan alih teknologi dan ilmu pengetahuan sebagai upaya mewujudkan amanah Proklamasi Bangsa Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kepentingan umum serta deni dan untuk kesejahteraan bagi seluruh warga bangsa, memang harus dan wajib untuk diwujudkan. Meski realitasnya kelak tenaga kerja lokal kita harus memulai dari pekerja atau buruh pada level yang paling rendah.
Dari pengakuan jujur Tomy Winata, selaku Boss PT. Makmur Elok Graha, setidaknya proyek di Pulau Rempang itu pada tahap pertama akan menyerap 35.000 tenaga kerja. Dan lahan di Pulau Rempang hanya akan digunakan sebagai lokasinya dari proyek raksasa itu tidak lebih dari 7.500 hektar. Artinya, tidak seluruh lahan yang ada di Pulau Rempang akan digunakan, karena lahan yang diperlukan hanya 7.500 hektar dari jumlah luas keseluruhan Pulau Rempang yang terbilang 17.000 hektar. Lantas mengapa harus menggusur warga dati lahan dan tempat tinggal yang telah mereka huni sejak ratusan tahun silam ini, sehingga mereka harus diusir dan buldozer dari tanah kelahiran leluhurnya ?
Inilah pertanyaan yang mengganjal dan tak terjawab, sesungguhnya ada apa dibalik pemberian konsesi yang sesungguhnya bisa diatur dengan baik oleh pemerintah yang memang harus dan wajib memberi perlindungan bagi segenap warga bangsa Indonesia, seperti amanah dan tekad dari proklamasi bangsa Indonesia yang juga harus memenuhi serta merujuk pada Sila-sila Pancasila sebagai pedoman hidup serta ideologi negara Indonesia.
Intinya, rakyat tidak mungkin menolak investasi jika benar tidak merugikan, tidak menggusur dan tidak akan membuldoser rakyat dari tanah leluhur yang tidak lagi cuma bernilai ekonomi belaka, tapi juga memiliki nilai histories dan tuah para leluhur yang sakral serta bersifat spiritual di setiap jengkal tanah kelahiran.***Jacob Ereste
Banten, 20 September 2023