-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita
Copyright © Best Viral Premium Blogger Templates

Iklan

Moral Justice dan Sosial Justice Harus Melekat Dalam Penegakkan Hukum.

Senin, 17 Juli 2023, Senin, Juli 17, 2023 WIB Last Updated 2023-07-18T13:55:42Z

 

Penulis : Dudi Daudi Pengamat Sosial

Para pendekar hukum dan penegak keadilan sering berkoar lantang, "walaupun langit runtuh keadilan dan kebenaran harus ditegakkan", ini kalimat negasi yang menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan demi kebenaran dan keadilan, artinya hukum harus mampu melindungi hak hak asasi manusia, sehingga harkat dan martabatnya terjaga dari tindak kedzaliman dan kesewenang wenangan yang merugikan.


Maka demi menjaga harkat martabat seseorang, meskipun orang itu sudah diduga kuat melakukan tindak pidana, belum dinyatakan bersalah dan harus dihukum sebelum Hakim mengetuk palu di Pengadilan. Ini berdasarkan hukum positip yang berlaku di Indonesia yang bisa dibuka pada Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


Namun hukum, menurut hemat saya merupakan bagian dari ilmu sosial yang tak lepas dari pergumulan kehidupan manusia. Bukan ilmu eksak yang pasti, hukum harus memiliki tiga aspek, pertama Moral Justice, Kedua Sosial Justice, dan ketiga Legal Justice. Penerapan hukum dan per undang undangan tidak kaku, tapi harus relatif fleksibel, melihat situasi kondisi pada obyek hukum yang dihadapi.


Bukan hanya mengedepankan aspek Legal Justice semata yang terkesan teksbook thingking (praktek baca buku dengan kaku), tetapi harus fleksibel, lentur, dan penuh kehati hatian, karena menyangkut rasa keadilan dan kemanusiaan. Tapi meskipun demikian hukum harus tegak dan tegas, katakan benar jika benar dan tunjukkan salah kalau salah. Hukum pun laksana Dewi keadilan yang memegang timbangan neraca keadilan, tidak berat sebelah dan berlaku bagi siapa pun tanpa pandang bulu.


Menganalisis dugaan kasus perjinahan yang dilakukan oleh UN dan FIT di Kebon Suuk, Genteng (skandal Kebon Suuk), yang terbongkar dari Chatingan WA milik FIT, dan berbuah laporan kepada Kepolisian oleh WAN yang dihianati oleh UN dan FIT, yang kemudian kasusnya sudah melewati batas waktu atau kadaluarsa.


Sebagaimana diketahui UN adalah seorang pria beristri yang diduga telah melakukan perjinahan dengan Istri WAN yaitu FIT. Hal ini diketahui berdasarkan pengakuan FIT yang terbongkar lewat chatingan Whats Ap FIT (istri WAN) dengan perempuan selingkuhan UN yang berinisial YUL, dimana YUL sebagai selingkuhan UN yang kedua terlibat cekcok memperebutkan UN.


Dugaan persetubuhan antara UN dan FIT berdasarkan pengakuan keduanya yang terjadi pada tahun 2018. Kemudian skandal seks itu baru terbongkar pada Juli 2023. Dalam kurun waktu 2018 sampai dengan 2023 berarti sudah berjalan 6 tahun. Ada pun ancaman hukumannya 9 bulan penjara.


Namun diketahui berdasar aturan hukum yang masih berlaku di Indonesia, perbuatan UN dan FIT tidak bisa ditindaklanjut dengan proses penyidikan karena sudah melebihi batas waktu yang telah ditentukan. Hal ini mengacu pada Pasal 78 KUHP, dimana ancaman hukuman sembilan bulan batas waktu untuk penuntutan hukumannya adalah tiga tahun. Sedangkan apa yang dilakukan UN dan FIT adalah kasus perjinahan yang diancam hukuman 9 bulan kurungan penjara.


Peristiwa tersebut telah melewati daluarsa penuntutan atau tidak, maka kita mengacu pada Pasal 78 KUHP yang berbunyi: 

Bahwa ancaman hukuman satu tahun kebawah, batas daluarsanya tiga tahun

(1)-Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:

1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun.

2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun

3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun

4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.


(2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.


Bagaimana dengan nasib WAN sebagai suami FIT sebagai korban yang telah dirusak mahligai rumah tangganya oleh UN?? Jelas perasaannya hancur dan remuk, apalagi sudah membangun rumah tangga dengan susah payah dalam waktu yang lama, bahkan sudah dikaruniai dua orang anak, lebih gilanya lagi si pelaku yang menodai istri WAN adalah merupakan karyawannya yang dibina dan dibesarkan oleh WAN sebagai pedagang di Lampung, namun dengan beraninya melakukan perbuatan mesum dengan istri WAN yang dicintainya.


Pertanyaannya sangat sederhana, apakah Si UN tidak bisa disentuh oleh sangsi hukum dan bebas merdeka setelah merusak kehormatan rumah tangga WAN? Sementara WAN sebagai korban harus menerima pasrah atas petunjuk Pasal 78 KUHP?? saya sebagai penulis bukan ahli hukum tapi berusaha harus sadar hukum apalagi tahu hukum. Rupanya ini merupakan peristiwa hukum yang perlu mendapat kajian dari para praktisi hukum agar hukum benar benar tegak dengan tidak mengesampingkan kehancuran korban yang sudah dirusak oleh Si UN.


Rupanya disinilah pentingnya hukum harus mengandung aspek moral Justice dan sosial Justice, karena WAN sebagai korban penghianatan UN dan FIT dalam Skandal Kebonsuuk, jelas jelas sangat dirugikan. WAN sampai saat ini akibat perbuatan UN dan FIT harus menanggung malu, merasa rendah diri, dan itu tidak bisa digambarkan bagaimana galau dan hancurnya perasaan WAN sebagai seorang suami yang telah dinodai oleh perbuatan bejad UN.


Nah kalau dilihat secara moral Justice, Si UN selain harus menyembah meminta maaf kepada WAN, si UN pun harus mampu meredam amuk yang berkecamuk dalam dada WAN. Karena menurut penuturan WAN harga diri dan kehormatannya tidak bisa dibeli dengan nilai materi. Sedangkan hanya dengan Pasal 78, tindak pidana Si UN sudah lewat batas waktu alias Kadaluarsa, maka kasus ini tidak bisa ditindak lanjut atau dituntut secara hukum pidana.


Melihat pada kasus ini, penulis sangat prihatin sekali terhadap keadaan korban, ia hanya bisa menahan napsu amarah, ia hanya bisa menggerutu jengkel, terhina dan tercampakkan.


Saya sebagai warga negara Indonesia yang memiliki nilai nilai agama dan adat istiadat pribumi asli Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, meminta kepada pemerintah Republik Indonesia melalu DPR RI untuk mengkoreksi dan merubah pasal 78 KUHP, karena dinilai tidak memenuhi rasa keadilan, dan berpotensi menimbulkan banyaknya tindak kejahatan yang bebas hukum hanya karena adanya kadaluarsa hukum.


Apalagi hukum pidana KUHP di Indonesia merupakan wetbook yang notabene warisan kolonial Belanda yang sudah lama dipakai pada praktek penegakkan hukum di Indonesia. Ini harus sudah direvisi dan lebih disempurnakan lagi, demi untuk memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang terdzalimi atau sebagai korban.


Penutup, dengan tidak mengurangi hormat saya kepada para penegak hukum yang telah memberikan pelayanan hukum dan pengayoman pada kasus ini, demi hukum dan  keadilan, Si UN sebagai pelaku yang telah merusak dan merugikan WAN, diluar pasal 78 KUHP harus bertanggung jawab atas perbuatannya, karena bagaimana pun WAN bukanlah sebuah benda tak bernyawa, ia seorang manusia yang mempunyai harkat martabat, hak asasi, perasaan, dan harga diri yang telah dinodai yang tak bisa diukur oleh materi.


Dikhawatirkan jika tidak ada penyelesaian dan mediasi dari kedua belah pihak yang dilakukan secara Restorative Justice didepan aparat penegak hukum, akan menimbulkan permasalahan baru yang timbul akibat ada hal yang terabaikan, sebagai letupan kekecewaan dari pihak korban.


Niscaya apabila ketiga aspek tersebut diatas terpenuhi dan bisa diterima dengan kesadaran dan lapang dada, maka akan tercapai sebuah ishlah dari kedua belah pihak. Bahkan besar harapan bisa menjadi hikmah yang membangunkan pribadi untuk taat dan sadar hukum.***

Komentar

Tampilkan

  • Moral Justice dan Sosial Justice Harus Melekat Dalam Penegakkan Hukum.
  • 0

Terkini