Oleh Jacob Ereste
Daging hewan kurban yang terlambat dikirimkan, itu seperti mobil pemadam kebakaran yang datang setelah api padam setelah menghanguskan sejumlah rumah dan segenap perabotan rumah fakir miskin dan rakyat jelata lainnya, hingga semakin tak berdaya apa-apa kecuali sisa do'a kepasrahan, bila nasib mungkin sudah begitu suratannya.
Itulah sebabnya panitia Idul Qurban tampak bergegas, merampungkan pembagian daging hewan qurban itu, untuk lebih mengutamakan warga masyarakat yang paling berhak menerimanya secepat mungkin, sebelum waktu makan siang tiba agar bisa disantap seperti warga masyarakat lain yang lebih beruntung hidupnya secara ekonomi dan mungkin memiliki makanan yang berlebihan.
Kecuali itu, keikhlasan dan pemahaman panitia Idul Qurban, cukup memahami bahwa diri mereka bukanlah warga istimewa yang patut menikmati daging hewan sembelihan itu yang sarat simbolik keikhlasan dan kepatuhan terhadap perintah Tuhan, bahwa berkurban itu lebih mulia derajatnya dari pada memiliki sesuatu yang tidak mendatangkan manfaat bagi orang lain.
Bagi para pemberi hewan qurban pun, tidak lantas lebih mulia dari mereka yang berhak untuk menerima daging hewan qurban itu, karena simbolik dari rasa kasih dan sayang sesama manusia, jauh melampaui kecintaan dan kasih sayang Nabi Ibrahim terhadap Nabi Ismail yang patut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari bagi yang percaya bahwa sikap ikhlas dan tawadhu itu merupakan tuntunan hidup bagi manusia yang beriman.
Sikap pasrah -- leg lila Nabi Ismail pun cermin dari keyakinan yang kaffah, tiada keraguan sedikitpun pada nasib serta hidup dan mati itu sesungguhnya ada dalam kekuasan-Nya
Yang Maha Mengetahui atas segenap makhluk dan seisi jagat raya ini. Begitulah nilai-nilai spiritual yang tersirat dari peristiwa penyembelihan Nabi Ismail oleh Ayahandanya Nabi Ibrahim, yang tidak ragu akan rasa kasih dan sayangnya seperti keyakinannya terhadap bisikan Tuhan Yang Maha Arif dan Maha Bijaksana itu untuk ditauladani oleh umat manusia di muka bumi, tanpa ketahuan sedikitpun. Sebab hanya dengan begitu hakikat kaffah tak lagi penting untuk dipamerkan kepada siapapun, termasuk Allah SWT sendiri yang lebih mengedepankan perilaku baik, ikhlas dan jujur dari setiap manusia dalam mengisi celah-celah hidup dan kehidupan di bumi, sehingga pantas dan patut menyandang julukan sebagai Khalifah di muka bumi.
Agaknya, atas dasar itu dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia di muka bumi dibanding Malaikat sekalipun. Apalagi hendak disandingkan dengan makhluk lain seperti binatang dan iblis. Karena manusia memiliki kelebihan akal dan budi. Maka itu, bila manusia tidak memposisikan harkat kemanusiaannya -- seperti nilai-nilai kemanusiaan manusia yang lain -- maka orang lain bisa maghujatnya sebagai binatang atau iblis. Karena kedua makhluk Tuhan yang suci dan yang paling buruk perangainya ini tidak memiliki potensi seperti yang dimiliki manusia untuk berpikir, berkreasi dan melakukan inovasi dalam upaya mengendalikan hawa nafsunya yang tidak dimiliki oleh kedua makhluk lain, kecuali manusia.
Atas kesadaran dan pemahaman serta pengertian ini, manusia pantas dan patut disebut makhluk paling mulia, dan khalifatulla -- wakil Tuhan -- di bumi. Maka itu, nilai-nilai sakral dalam perayaan Idul Adha sangat penting dan perlu untuk direnungkan, agar tidak egoistik, rakus dan tamak seperti hasrat untuk memiliki sesuatu -- seperti tauladan Nabi Ibrahim -- yang sadar untuk tidak mengklaim atas kepemilikannya terhadap Ismail sebagai putra tercinta yang paling dia sayangi. Karena Nabi Ismail itu adalah milik Tuhan -- Allah SWT -- sebagai pencipta dan sebagai kuasa atas bumi dan langit serta seisinya. Termasuk Nabi Ibrahim sendiri.
Mauk, 29 Juni 2023
*Tulisan ini adalah bagian dari penggalan materi silaturahmi dari forum diskusi Komunitas Buruh Indonesia bersama Atlantika Institut Nusantara di Tangerang pada 29 Juni 2023.