Fitrah manusia tidak hanya dimaknai suci dan bersih, tetapi juga sebagai makhluk ciptaan Allah bertujuan untuk beribadah kepada Allah. Potensi manusia yang diberi oleh Allah, setidaknya memiliki tiga hal, yaitu potensi tubuh, akal, dan hati. Itulah komponen dasar minimal yang dimiliki manusia untuk selebihnya dapat dikembangkan sendiri sehingga menjadi manusia sempurna.
Jadi fitrah manusia itu meliputi jismiyyah, fitrah nafsiyyah dan fitrah ruhiyyah. Ketikanya memiliki fungsi sendiri namun akan sempurna bekerja dalam kesatuan yang padu. Karena itu unsur fitrah ini juga memberi isyarat bahwa segala sesuatu tidak bisa dikerjakan sendiri. Ia akan selalu memerlukan adanya dukungan dari pihak lain.
Dalam tafsir kitab Al Maroghi, fitrah itu adalah kondisi dari penciptaan manusia yang mempunyai kecenderungan untuk menerima kebenaran, seperti yang bersemayam di setiap hati manusia.
Jadi seusai menunaikan ibadah puasa selama bulan ramadhan setiap orang yang melaksanakannya akan kembali kepada kondisi dirinya yang fitri -- suci dan bersih -- seperti ketika Allah SWT menciptakannya sebagai makhluk paling mulia di bumi. Adapun makhluk lain -- selain manusia -- adalah jin, syetan dan malaikat yang tidak memiliki kelebihan dari apa yang dimiliki manusia dari pemberian Yang Maha Pencipta itu. Karenanya manusia mempunyai posisi sebagai Khalifah -- pengusung kebenaran yang berdasarkan etik profetik serta moral dan akhlak yang tidak dimiliki oleh mahkluk lain.
Akal dan pikiran, rasa belas kasih dan sayang serta getaran simpati dan takjub maupun kagum hingga kesadaran terhadap alam serta lingkungan yang perlu selaras dan harmoni, merupakan potensi manusia yang perlu dipelihara agar tidak membuat kerusakan dan disharmoni untuk seluruh makhluk dan segenap yang ada di bumi.
Karena itu, ketika sistem alam -- sunnatulah -- bersama tata kehidupan manusia yang meliputi segenap bidang kehidupan menjadi rusak, maka jagat raya pun ikut bergolak dengan cara dan modelnya sendiri.
Bencana maupun perubahan iklim bisa dipahami dalam satu siklus yang saling berkaitan dengan ulah manusia yang tidak harmoni dengan irama alam, karena merusak dan rakus mengekploitasi sumber daya alam secara berlebih -- tidak berimbang -- dengan kemampuan daya pulih alami sebagai sunnatulah yang diabaikan itu.
Maka itu esensi puasa pada bulan ramadhan seperduabelas dari setiap tahun dapat dijadikan momentum mematut diri -- evakuasi menyeluruh -- tentang nafsu yang tamak dan rakus, mengendalikan kesabaran diri untuk senantiasa bersyukur, menjaga emosi serta egoisme diri yang berlebih untuk menggagahi orang lain. Sehingga capaian usaha mematut diri yang mendekati kesempurnaan yang Fitri itu, maka setiap orang patut dan merasa berhak untuk merayakan Idhul Fitri.
Karena kegemaran menghasut, iri hati dan dengki serta tabiat buruk mampu diluruhkan selama bulan ramadhan. Kendati idealnya tidak berarti setelah itu boleh kembali ugal-ugalan, korup, khianat, menelikung dan melakukan tipu daya seperti syetan dan iblis.
Upaya untuk mengembalikan diri pada sifat dan sikap yang Fitri itu merupakan laku spiritual yang bisa dan boleh dilakukan semua orang -- tidak hanya oleh ummat Islam yang percaya dan yakin sebagai Khalifah Allah di muka bumi dan percaya bahwa Islam itu pembawa rachmata lil alamin. Oleh karena itu pula, puasa -- tidak hanya pada bulan ramadhan -- menjadi pilihan cara terbaik bagi seluruh umat beragama untuk kembali meraih jati diri yang fitri.*
Banten, 15 April 2023