Basis spiritual bagi seorang negarawan sangat diperlukan untuk menjaga etika, moral dan akhlak sebagai pengusung kebaikan yang berlandaskan pada ajaran serta tuntunan para Nabi bersama manusia lainnya sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Kebaikan, ketulusan dan kejujuran untuk berbuat baik bagi kepentingan orang banyak -- rakyat -- untuk negara dan bangsa, hanya mungkin dilakukan oleh para negarawan yang paripurna sifat dan sikapnya yang terjaga oleh etik profetik (sikap dan sifat kenabian) sebagai pembawa dan penebar nilai-nilai kebaikan untuk orang banyak.
Karena itu sosok para negarawan dengan nilai etik profetik itu sangat dipercaya dan mampu -- serta mau membenahi tata kelola negara yang rusak akibat dari cara pengelolaannya yang sembrono dan ugal-ugalan.
Untuk berharap pada politisi misalnya yang kini tengah kasmaran pada Pemilu maupun Pilkada dan Pileg, jelas dan pasti tidak bisa diharapkan, karena mereka lebih sibuk memposisikan diri untuk kembali tampil dan menduduki posisi yang lebih enak dari posisi atau kedudukan sebelumnya. Paling tidak, bisa tetap panggah di posisi sebelumnya.
Hasrat dan pamrih serupa itu wajar saja menjadi pilihan dalam kondisi dan situasi yang semakin dimabuk materi dan kekuasaan, tidak sama sekali mengusung nilai-nilai illahiyah seperti tugas dan kewajiban para Nabi sebagai penyampai pesan-pesan Tuhan.
Karena itu pula, Pancasila yang menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada urutan pertama terkesan semakin dilupakan atau bahkan sengaja diabaikan. Harapan pada fungsi dan peranan BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) seakan tiada berdaya tanpa asumsi tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kondisi bangkrut moral bangsa -- utamanya bagi mereka yang sedang berkuasa mengelola negara.
Kerunyaman ekonomi yang selalu gaduh dan kacau seperti impor bahan pangan beras yang justru membingungkan rakyat disaat musim panen, mengesankan antara Kementrian Perdagangan dan Kementerian Pertanian menjadi seteru Badan Urusan Logistik yang cuma berperan sebagai Kepala Gudang belaka. Hingga bibit dan pupuk bagi petani terus menjadi masalah sendiri, persis seperti kesedihan saat nenjual hasil panen yang tetap dibiarkan menjadi mangsa tengkulak.
Budaya tengkulak pada tataran yang lebih bergengsi itu sekarang disebut rente, seperti menangguk komisi dari jutaan beras impor yang masuk, sangat terkesan sedang menghimpun duit untuk bekal Pemilu.
Harapan dari bilik akademisi pun untuk membenahi kerusakan tata kelola negera yang semakin parah dan sangat mengkhawatirkan ini pun sudah tak lagi bisa menjadi andalan, sebab dipusat budaya akadenisi itu pun telah terbangun tradisi transaksi seperti di pasar pagi.
Itulah sebabnya semacam backing power negarawan masih mungkin berharap dari para budayawan dan sebiman serta para tokoh agama yang masih relatif memiliki sisa untuk dipercaya ikut membenahi negara untuk kemudian segera memulihkan juga bangsa yang terlanjur meriang akibat didera derita bertumpuk yang tak lagi mampu untuk diidentifikasi, sebab musababnya. Apalagi kemudian ingin hendak dirinci cara penyembuhannya.
Jiwa bangsa dan negara yang sakit, tentu saja resume patologisnya tidak gampang untuk dinarasikan dalam resep yang singkat dan padat itu, misalnya sekedar untuk meredakan nyeri yang terkanjur menjalar ke sekujur tubuh.
Boleh jadi, alternatif klinisnya harus ada bagian yang diamputasi habis dengan kerelaan yang tak bisa ditawar.
Jadi kehadiran sejumlah sosok negarawan bagi negeri yang sakit senacam menanti sejumlah perawat yang penuh suka rela, tulus dan ikhlas membasuh luka maupun borok lama yang sudah membusuk. Jika tidak segera hadir dan bertindaknya para negarawan untuk menyelamatkan negeri ini, maka mungkin sekali dalam waktu dekat yang tersisa hanya seharahnya saja.
Ibarat kata, GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) bersama Posko Negarawan ingin menghadirkan perawat bangsa dan perawat negara, agar kisah tragisnya yang tengah sekarat tidak sampai menjadi kenangan sejarah.***daudi
Banten, 16 Februari 2023