Masyarakat kampus yang mulai menyadari telah terperangkap dalam tatanan budaya material mulai sadar bahwa keunggulan intelektual tidak cukup memadai untuk menjawab segenap kebobrokan etika dan moral yang berkisar pada akhlak sebagai takaran kualitas dari peradaban manusia.
Akibatnya, kejeniusan para intelektual hanya dipergunakan untuk kepentingan diri sendiri atau bahkan untuk memperdaya sekaligus memusnahkan orang lain yang dianggap musuh, paling tidak untuk mereka yang diposisikan sebagai pesaing atau musuh. Sedangkan laku spiritual selalu diawali oleh niat baik, prasangka baik yang diboboti kejujuran, keikhlasan, kerendahatian serts kemampuan mengendalikan hawa nafsu atau ambisi untuk lebih unggul dari orang lain. Karena itu sikap dan sifat ugahari diperlukan untuk dijadikan pengendali egoisme, ambisi dan keinginan untuk memaksakan kehendak, tanpa mengindahkan kepetingan, pendapat maupun sikap orang lain.
Dalam konteks ini, sikap dan sifat teposeliro -- tenggang rasa hingga hasrat untuk menghargai orang lain -- patut mendapat tempat dihati. Bisa saja tidak ada di dalam otak -- sebagai sumber akal dan daya pikir -- karena kemampuan daya pikir memang terbatas, tidak mungkin mampu melampaui daya jangkau yang dapat dicapai manusia lewat dimensi spiritual.
Itulah sebabnya peristiwa Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW sulit diterima oleh akal, karena Isra Mi'raj memang hanya dapat diterima oleh keyakinan atas kepercayaan kepada kekuasaan Tuhan.
Diskusi antara Nabi pun -- ketika ketika memperdebatkan kemampuan Nabi Muhammad SAW melakukan Isra dan Mi'raj hanya dalam waktu semalam mampu melakukan dari bumi ke langit lapis ke tujuh -- secara matematis pun sulit untuk dipahami dalam kepongahan intelektual yang tidak memiliki getaran dari frekuensi spiritual. Karena untuk perjalan yang begitu jauh -- Isra Mi'raj -- sulit dicerna oleh akal sehat sekalipun. Sebab perjalan yang begitu jauh -- dari bumi ke langit lapis ketujuh -- walau mampu melakukan dengan kecepatan cahaya, memerlukan waktu yang cukup lama. Sebab dalam hitungan matematis, jarak dari bumi ke langit ketujuh itu hanya mungkin bisa ditempuh dengan kecepatan suara ribuan tahun lamanya.
Jadi -- logika dari peristiwa Isra dan Mi'rat -- hanya mungkin mampu dipahami dengan keyakinan yang berbobot spiritual, tidak oleh sikap pongah kejeniusan akal yang abai pada dimensi illahiyah. Apalagi cuma sekedar kepongahan akademis yang lebih dominan memposisikan manusia sekedar menjadi tukang. Atau semacam sekrup kecil dari alat untuk dipergunakan oleh pihak lain sebagai budak upahan yang berorientasi material. Sekedar kepuasan duniawi yang jauh dari nilai-nilai Illahiah.***Jacob Ereste
Baturaden, 18 Februari 2023