Intelektualitas yang tidak dipandu oleh spiritualitas bisa menghasilkan perbuatan liar dan brutal akibat keangkuhan yang tidak terkendali dan tidak nampu dijinakkan.
Kerusakan yang terjadi akibat perilaku ilmuan bukan saja sebatas kerusakan alam (fisik) semata, tetapi juga terhadap banyak hal yang bersifat non fisik, sehingga etika, moral dan akhlak manusia semakin merosot lebih kejam dari binatang buas.
Itulah kecemasan banyak orang pada era milineal sekarang ini karena kemampuan untuk saling me hancurkan -- bahkan untuk memusnahkan -- akibat persaingan dalam banyak hal dan bentuk serta levelnya semakin beragam.
Sementara laku spiritual sebagai penyeimbang semakin merosot, karena dianggap seperti langkah mundur yang selalu dikesankan sedang berlomba dengan banyak pihak. Karenanya, kepintaran manusia seunggul mungkin terus dipacu seperti dalam persaingan yang telah menjadi kodrat tak bisa dihindarkan. Akibatnya untuk menemukan paradigma baru guna mengatasi birahi dalam beragam bentuk dan level dari persaingan ini terus dipacu untuk mengungguli pihak lain.
Pendek kata, ilmu dan pengetahuan telah menjadi simbol dari mitos ukuran dari keunggulan dan keberhasilan dari standar menjadi manusia di muka bumi. Meski dalam realitasnya sekarang sangat dominan telah menggradasi harkat dan martabat dari kemuliaan manusia.
Kepongahan para ilmuan ini terkesan tambah meruncing, akibat persaingan yang semakin ketat karena banyak hal memang harus direbut terutama dalam kekayaan (materi) dan kekuasaan non materi agar dapat maksimal berada di atas mereka yang lain -- yang selalu dianggap menjadi pesaing -- atau bahkan musuh yang bisa menjadi ancaman dalam hidup ini.
Dalan skala global perlombaan dari upaya untuk menciptakan senjata tercanggih pada level negara sekarang sudah ditingkatkan pada bentuk sergapan perang asimetris dalam berbagai cara dan bentuk, hingga pada puncaknya untuk memusnahkan secara fisik maupun non fisik.
Dalam level terendah mungkin seperti yang tengah terjadi di negeri kita sendiri, Indonesia. Pada bilik politik, toh bisa ditonton betapa serunya persiapan Pilpres (Pemilihan Presiden), meski pertarungan yang lebih sengit baru akan terjadi pada saat menjelang waktu penentuan menang atau kalah pada tahun 2024. Tetapi etika, moral dan akhlak mulia manusia telah berguguran. Oleh karena itu, gerakan moral rekonsiliasi Indonesia seperti yang digagas dan dimotori oleh GMRI bersama Posko Negarawan semakin nyata dan relevan untuk memposisikan diri sebagai angin penyejuk -- bukan pengendali juga bukan untuk membuat keseimbangan -- jadi sekedar ingin menjadi faktor lain -- yang tidak akan pernah berpihak pada suapa pun, kecuali untuk nilai-nilai kemanusiaan yang lebih adil dan lebih beradap dalam menata negara demi dan untuk bangsa Indonesia yang ingin membangun masa depan yang lebih baik, lebih beradab untuk menjadi tauladan serta pemimpin dunia di masa depan..
Kesadaran para intelektual masuk wilayah spiritual, mulai tampak dan menjadi fenomena baru yang menarik dan mengharukan -- sekaligus sangat mengagumkan -- karena memang sangat menggembirakan, karena kaum intelektual Indinesia tidak ingin menjadi robotik dengan bangkitnya kesadaran serta hasrat memboboti diri dengan nilai spiritualitas yang mampu menuntun pada kesadaran yang bersifat illahiyah.***Jacob Ereste
Banten, 21 Februari 2023