Urgensi Utusan Golongan dan Daerah di MPR RI menjadi topik utama yang dibedah mulai dari Keynot speaker La Nyala Mataliti yang menandai bangsa Indonesia hanya mungkin dikelola dengan sistem Pancasila, karena tak mungkin menggunakan cara yang lain.
Utusan daerah dan utusan golongan menurutnya ideal diwakili oleh para organisatoris dan kaum profesional. Karena itu MPR RI mempunyai tugas amanah rakyat untuk memilih Presiden. Sebab Presiden harus memerankan tugas dan kewajibannya untuk rakyat, bukan petugas partai, tandas La Nyala Mattalitti memaparkan.
Menurut dia, rakyat dapat memperkuat kembali lembaga legislatif dengan menyempurnakan keberadaan dari utusan daerah dan utusan golongan.
Usai paparan, La Nyala Mattalitti langsung menyerahkan cinderamata dari DPD RI untuk Ketua Panitia yang diterima oleh Eko Sriyanto Galgendu dari GMRI yang juga mewakili Posko Negarawan.
Paparan berikut disampaikan oleh Mayjen TNI-AD Ridho Hermawan M.Sc, dari Lemhannas tentang sistem negara kesatuan Republik Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang telah menjadi konsensus nasional.
MPR RI itu, kata Jenderal bintang dua ini sebelum reformasi adalah lembaga tertinggi negara. Sekarang hanya terdiri dari dua unsur DPD dan DPR yang didulang dari partai politik saja. Sementara DPR RI yang berasal dari Partai Politik itu sangat dominan menguasai parlemen hingga mencapai 80 persen dari semua anggota MPR RI yang ada. Artinya, akses DPD RI tak lebih dari 20 persen saja dengan hak dan wewenang yang nyaris tidak ada.
Makna dari Republik Indonesia, artinya adalah kembali pada kedaulatan rakyat. Maka itu anggota MPR RI itu harus dapat seimbang antara wakil rakyat yang berasal dari Partai Politik dengan MPR RI yang berasal dari utusan daerah serta utusan golongan. Sehingga setiap warga negara dapat merasakan sebagai pemilik negeri ini, kata Jendral yang cukup akrab dengan kalangan aktivis pergerakan ini. Dia merasa keberatan dengan adanya istilah penguasa dalam khazanah politik di Indonesia. Sebab pemerintah itu adalah mereka yang menerima amanah rakyat bahkan menandai adanya istilah penguasa dalam khasanah politik di Indonesia. Sebab mereka yang di pemerintahan itu adalah pengelola negara yang diberi amanah oleh rakyat.
Pertanyaan yang menarik, kata Jendral Ridho Hermawan, sejak kapan rakyat memberikan kedaulatannya kepada Partai Politik. Karena itu, kejelasan dari kedaulatan rakyat yang diklaim oleh partai politik perlu dikaji ulang dan dipertanyakan, tandasnya. Seperti keberadaan DPD RI yang tidak disertai oleh utusan golongan, imbuhnya.
Sementara Prof. Nanik diharap oleh Prof. Yudhie Haryono selaku moderator dapat mewakili suara perempuan Indonesia. Guru Besar Universitas Taruma Negara ini memapar telaah akademis dari sudut pandang adat istiadat dan budaya bangsa Indonesia yang majemuk, hingga peran para Sultan, Raja dan Ratu serta pemangku adat seharusnya ada perwakilannya di parlemen. Ibarat jalan tol dipaksakan untuk menerabas semua wilayah dan daerah, nyatanya banyak yang tidak memberi manfaat kepada rakyat. Bahkan kehadiran jalan tol itu telah membunuh berbagai usaha rakyat kecil. Sebab model jalan tol yang dibuat itu persis seperti keberadaan DPD RI yang dianggap cukup telah mewakili suara rakyat.
Dari sisi yang lain, pembicara berikut menyoroti penerapan sistem liberal dalam politik seperti adanya sistem one man one vote. Jadi jelas semakin tidak akan adanya wakil dari kaum yang terpinggirkan seperti untuk suku bangsa yang ada di pedalaman dan kaum minoritas di Indonesia yang termarginalkan. Kecuali itu, kata Profesor Nanik, masyarakat adat dan keraton serta suku terasing tak memiliki presentasinya di MPR RI.
Rektor Universitas Pakuan, Bogor justru melihat para penguasa di Indonesia ada kesan ingin membangun Piramida citra dirinya. Sehingga semua program dari semerintah sebelumnya -- termasuk penguasanya juga -- tidak ingin melanjutkan apa yang sudah dilakukan sebelumnya. Dan penguasanya sendiri cenderung untuk tidak terus melanjutkan apa yang sudah dilakukan penguasa sebelumnya.
Jumlah anggota DPD RI yang ada sekarang tampak jelas tidak bisa membuat keseimbangan dengan anggota MPR RI yang ada sekarang. Paling tidak idealnya, wewenang DPD RI harus memiliki hak dan wewenang yang setara dengan anggota DPR RI yang ada. Karena itu harus ada wakil dari utusan golongan.
Almarhum, kata Yudhie Haryono adalah sahabat dekat Presiden Joko Widodo. Dia tak kalah lantang mengkoreksi Orde Reformasi yang tidak melanjutkan hal-hal yang baik dan bagus dari Orde Baru. Ironisnya, menurut dia, Orde Reformasi yang ikut berkuasa sekarang ini banyak menjadi pejabat negara yang tidak memahami tugas dan kewajiban yang harus dilakukannya untuk rakyat. Karena itu, kesalahan yang dilakukan pejabat publik sekarang ini, semua menjadi beban Presiden.
Diungkap juga pembangunan nasional tidaklah cukup hanya mengakomodir visi dan misinya Presiden, karena memang harus mendengarkan suara maupun masukan dari rakyat.
Eko Sriyanto Galgendu selaku penggagas serta penyelenggara FGD dari GMRI bersama Posko Negarawan melihat spirit kebangsaan yang lemah sekarang imi telah mengakibatkan lemahnya sosok negarawan Indonesia. Dan kedaulatan rakyat yang semakin diperlemah oleh amandemen UUD 1945, seharusnya tidak abai pada utusan golongan guna memperkuat utusan daerah di MPR RI, untuk kemudian ikut menjaga dan mewujudkan keseimbangan -- keadilan dalam arti luas yang meliputi kedaulatan rakyat yang untuk dan demi keadilan.
Kebodohan dan kemiskinan yang terus dipelihara untuk mendulang suara pada Pemilu sungguh tidak patut dibiarkan untuk terus berkembang dan dikembangkan, kata Ketua Umum GMRI ini. Maka itu rekonsiliasi konstitusi, wajib dibicarakan secara menyeluruh dalam sistem tata kelola bangsa dan negara Indonesia, tandasnya.
Karena itu, FGD serupa ini akan terus berlanjut, sehingga mampu menyatukan hati, menyatukan tekad dan menyatukan pikiran bersama seluruh elemen bangsa dan negarawan, kata Eko Sriyanto Galgendu mengakhiri narasi paparannya.
Ruang kosong kenegarawanan di MPR RI harus bisa diisi oleh utusan daerah dan utusan golongan. Apalagi kecenderungan dari anggita DPD RI sekarang lebih berperan pada pemerintahan.
Perubahan UUD 1945 pada tahun 1999-2002 itu dulu hanya ingin memastikan ada pembatasan jabatan Presiden. Tapi yang terjadi kemudian kata dokter Zulkipli Ekomey adanya kudeta konstitusi seperti apa yang terjadi sekarang.
Idealnya, MPR RI seharus dapat mencerminkan kedaulatan rakyat, bukan melalui pemilihan seperti yang dilakukan sekarang, hingga utusan daerah dan utusan golongan yang ada sepatutnya cukup ditunjuk oleh rakyat. Jadi, untuk mengembalikan fungsi dan peran MPR RI, harus segera digenapi oleh utusan golongan dengan memperkuat utusan daerah. Sebab kalau cuma ada utusan daerah dan utusan golongan seperti yang diharapkan dalam FGD ini, tidak akan pernah bisa terwujud manakala tidak dibarengi oleh pengembalian UUD 1945 yang asli, sebab amandemen UUD 1945 itu intinya telah merusak kandungan nilai dari Pembukaan UUD 1945. Dan artinya dari amandemen UUD 1945 itu telah membubarkan negara Indonesia. Itulah sebabnya Indonesia sekarang tidak cuma krisis ekonomi, tapi juga krisis konstitusi. Akibat terusannya, negara Indonesia sekarang kondisi ekonominya sangat tidak ekonomis. Sebab keputusan yang dilakukan tidak lagi ditempuh dengan cara musyawarah, tapi dilakukan melalui mekanisme yang diputuskan lewat suara terbanyak.
Maka itu krisis konstitusi yang terjadi sekarang ini telah membuat krisis pada sektor yang lainnya juga. Maka itu jalan terbaik imbuh La Nyala adalah kembali kepada UUD 1945 sesuai dengan naskahnya yang asli. Hatta melalui dekrit Presiden, katanya, jalan satu-satunya yang bisa ditempuh untuk dapat mengembalikan fungsi dan tugas MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara, katanya.
Acara FGD yang diikuti akademisi dan para aktipis Kampus itu cukup meriah. Serius dan tampak santai namun sangat terasa dan berisi sekali saat para pembicara menyampaikan narasi dengan mimik yang energik.
***Jacob Ereste