Renungan Bulan Rajab 1443 H
Seperti tidak pernah lepas dari masalah, ada saja persoalan yang membuat umat Muslim di Tanah Air disibukkan dengan berbagai polemik. Terakhir, umat disibukkan dengan polemik pengaturan azan dan penggunaan alat pengeras suara di masjid. Tersirat kekhawatiran jika masjid menggunakan pengeras suara lima kali sehari untuk azan dapat mengganggu ketenangan warga dan merusak toleransi antarumat beragama.
Bahkan ada yang menyatakan bahwa umat Muslim tidak perlu menggunakan pengeras suara karena Tuhan Mahadekat dan tidak tuli. Lagi pula, menurut mereka, Muslim yang sadar akan kewajiban shalat tidak memerlukan panggilan keras seperti itu. Ia akan menunaikan shalat dengan sendirinya.
Apakah azan saat ini menjadi masalah besar bagi umat? Ataukah ada persoalan lain yang semestinya menjadi fokus dan prioritas umat?
Azan Perintah Agama
Azan merupakan panggilan shalat yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. kepada kaum Muslim. Beliau bersabda:
فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
Jika waktu shalat telah tiba, salah seorang di antara kalian hendaknya mengumandangkan azan untuk kalian dan yang paling tua di antara kalian menjadi imam kalian (HR al-Bukhari dan Muslim).
Suara azan memang harus dikeraskan. Semua makhluk Allah SWT yang mendengarkan panggilan azan akan menjadi saksi pada Hari Kiamat. Nabi saw. bersabda:
لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَىْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Tidaklah suara azan yang keras dari seorang muazin didengar oleh jin, manusia dan segala sesuatu melainkan itu semua akan menjadi saksi bagi dirinya pada Hari Kiamat (HR al-Bukhari).
Karena itu keliru jika ada yang mengusulkan agar suara azan jangan diperdengarkan atau dilarang untuk dikeraskan. Juga aneh jika ada pendapat bahwa azan tidak diperlukan karena Allah Mahadekat dan tidak tuli. Nabi saw. justru memerintahkan agar suara azan dikumandangkan. Sebabnya, azan memang merupakan panggilan shalat lima waktu yang ditujukan kepada kaum Muslim.
Alasan bahwa suara azan yang keras mengganggu kalangan non-Muslim juga tidaklah tepat. Azan adalah bagian dari syiar Islam yang ditujukan kepada umat manusia. Imam an-Nawawi menyebutkan sejumlah hikmah dari azan yakni: menampakkan syiar Islam, berisi kalimat tauhid, pemberitahuan masuknya waktu shalat dan tempatnya, serta doa bagi jamaah (Syarh an-Nawawi ’ala Muslim, 4/77, Maktabah Syamilah).
Tidak pantas pula seorang Muslim merasa terganggu dengan suara azan. Nabi saw. menyebutkan bahwa yang terganggu oleh azan adalah golongan setan. Beliau bersabda:
إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ
Jika azan dikumandangkan, setan segera berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar azan tersebut. Jika azan selesai dikumandangkan, dia pun kembali. Jika dikumandangkan iqamah, setan kembali berpaling. Jika iqamah selesai dikumandangkan, dia pun kembali. Ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya (HR Muttafaq ‘alayh).
Merendahkan azan, seperti mensejajarkan azan dengan gonggongan anjing, atau dulu ada yang menyebutkan bahwa suara kidung jauh lebih indah daripada suara azan, adalah termasuk penistaan agama serta merupakan dosa besar. Allah SWT telah mengingatkan:
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ
Jika kalian menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka menjadikan seruan itu sebagai ejekan dan permainan. Yang demikian adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau menggunakan akal (TQS al-Maidah [5]: 58).
Persoalan Utama: Sekularisme
Sebenarnya banyak persoalan yang lebih utama dan penting untuk diselesaikan umat dan para pejabat di negeri ini ketimbang meributkan azan dan pengeras suara. Yang utama adalah sekularisme. Paham batil yang mengajarkan pemisahan agama dari kehidupan ini menyebabkan banyak kaum Muslim yang tidak peduli dengan agamanya.
Dewan Masjid Indonesia (DMI) pernah menyampaikan data 65 persen Muslim di Indonesia ternyata belum bisa membaca al-Quran. Padahal al-Quran adalah kitab suci kaum Muslim. Membaca al-Quran berbuah pahala dan syafaat di Akhirat. Mempelajari dan mengamalkan al-Quran adalah kewajiban. Bukankah membebaskan umat dari buta huruf al-Quran seharusnya menjadi tanggung jawab umat dan negara?
Demikian pula dalam masalah shalat. Andaikan Pemerintah mau menelusuri bisa jadi akan didapatkan data bahwa masih banyak Muslim di Tanah Air yang melalaikan kewajiban shalat lima waktu. Namun, akibat sekularisme, ibadah dipandang urusan pribadi belaka. Tidak ada yang berhak memaksa, termasuk negara. Karena itu tidak sedikit orang yang enteng saja meninggalkan shalat. Padahal Nabi saw. mengingatkan:
اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat. Siapa saja yang meninggalkan shalat, maka ia telah kafir (HR Ibnu Majah).
Para ahli ilmu sepakat bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa uzur hingga habis waktunya maka ia telah kafir. Para ulama Malikiyah dan Syafiiyah berpendapat bahwa orang seperti itu tidaklah kafir tetapi fasik dan ia diminta agar bertobat. Jika ia bertobat maka diterima tobatnya. Namun, jika ia tidak bertobat, ia mendapatkan sanksi hukuman mati sebagai sanksi (had) (Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzhâhib al-Arba’ah, 5/401, Maktabah Syamilah).
Nah, tugas negaralah untuk mengedukasi, menertibkan dan menghukum mereka yang meremehkan pelaksanaan shalat.
Sekularisme juga melahirkan pluralisme hingga sinkretisme. Tidak sedikit kaum Muslim mencampuradukkan ibadah dan keyakinan mereka dengan umat lain. Sebagian dari mereka bahkan dipaksa mengikuti ritual agama lain karena aturan tempat bekerja atau lingkungan mereka tinggal. Di Bali, setiap tahun umat Muslim dipaksa untuk mematuhi aturan umat Hindu saat Hari Raya Nyepi. Mengapa hal ini tidak dipersoalkan oleh negara, khususnya Kementerian Agama?
Karena sekularisme pula umat Muslim di Tanah Air rentan mengalami pemurtadan. Pada tahun 2016, MUI pernah menyampaikan laporan bahwa setiap tahun ada 2 juta Muslim keluar dari agamanya di Indonesia. Ini menandakan lemahnya pembinaan dan perlindungan terhadap keimanan mereka yang semestinya dilakukan oleh negara.
Demikian pula kasus penistaan terhadap agama Islam yang semakin marak belakangan ini. Ini karena lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku. Bahkan sejumlah nama yang terkenal sebagai buzzer justru masih eksis dan terus menerus menyemburkan fitnah dan penistaan terhadap agama Islam. Seolah-olah mereka kebal hukum.
Kapitalisme dan Oligarki
Setelah sekularisme, umat Muslim hari ini juga dihadang oleh cengkeraman kapitalisme dan oligarki. Segelintir orang berkuasa dan menzalimi rakyat. Kejahatan kapitalisme dan oligarki ini sudah demikian nyata seperti terlihat dari naiknya harga-harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng, kacang kedelai dan sejumlah kebutuhan pokok lainnya. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso pernah mengatakan bahwa pasar pangan di Indonesia hampir 100 persen dikuasai kartel atau monopoli. Ia mengatakan Bulog hanya menguasai 6%. Sisanya dikuasai kartel.
Kasus kelangkaan minyak goreng di Tanah Air adalah ironi. Pasalnya, Indonesia adalah negara dengan perkebunan sawit terbesar. Namun, perkebunan sawit itu dikuasai hanya oleh 29 taipan yang memiliki lahan separuh Pulau Jawa alias lebih dari 5 juta hektar. Industri minyak goreng pun dikuasai hanya oleh 4 konglomerat. Itulah sebabnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sama-sama menduga ada permainan kartel. Perusahaan minyak goreng menaikkan harga secara bersamaan, padahal mereka memiliki perkebunan sawit masing-masing (TribunJabar, 26/01).
Negara harusnya menjamin kebutuhan pokok rakyat dan mencegah serta menghukum permainan para pengusaha jika terbukti melakukan kecurangan, seperti menaikkan harga dengan sangat keterlaluan yang disebut ghabn fâhisy atau khilâbah (penipuan). Nabi saw. bersabda:
بَيْعُ الْمُحَفَّلَاتِ خِلَابَةٌ وَلَا تَحِلُّ الْخِلَابَةُ لِمُسْلِمٍ
Jual-beli muhaffalât adalah khilâbah (penipuan) dan penipuan itu tidak halal bagi seorang Muslim (HR Ibn Majah, Ahmad dan Abdurrazaq).
Wahai kaum Muslim! Sebenarnya pangkal dari persoalan umat hari ini, bahkan di seluruh dunia, adalah ketiadaan penerapan syariah Islam yang akan menuntaskan seluruh persoalan. Allah SWT telah menjadikan syariah Islam sebagai solusi bagi setiap persoalan manusia. Penerapan syariah Islam secara kaffah adalah wujud ketakwaan. Ketakwaan pasti akan mendatangkan ragam keberkahan (Lihat: QS al-A’raf [7]: 96).
Syariah Islam yang diterapkan oleh Khilafah bakal mampu melindungi dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi umat. Khilafah akan menghapuskan paham sekularisme, melindungi akidah umat dan membimbing serta menjaga ibadah mereka. Khilafah tidak akan membiarkan ada Muslim yang tidak menunaikan kewajiban ibadah seperti shalat lima waktu atau ada Muslim yang buta huruf al-Quran. Khilafah juga akan mencegah pemaksaan ibadah agama lain terhadap kaum Muslim, sebagaimana juga melarang pemaksaan ajaran Islam terhadap orang-orang kafir.
Khilafah juga akan menciptakan regulasi untuk memberantas praktik bisnis kartel dan monopolis serta kecurangan lainnya. Negara Islam akan melindungi pengusaha juga konsumen, majikan dan buruh, sehingga semua mendapatkan haknya sesuai syariah Islam. Inilah kemuliaan ajaran Islam.
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sungguh hal demikian muncul dari ketakwaan kalbu. (QS al-Hajj [22]: 32). []***Dudi Daudi/ (Dilansir dari Buletin Kaffah No. 234 (30 Rajab 1443 H/4 Maret 2022 M)