Awas Bahaya Latin Komunis
Oleh : Amal Saepul Badar
Kekuatan komunis di Indonesia secara politik dan organisasi memang mengalami kemandulan, bukan berarti komunisme telah mati. Marxisme dan Leminisme sebagai ideologi komunis jelas masih mempertanyakan watak revolusionernya. Konsep itu secara teori masih aktual, masih memiliki kekuatan logika dan sifatnya tetap hidup sampai kapanpun. Sekalipun di Uni Soviet, Cina dan negara lain komunis telah mengalami kebangkrutan. Para pengikutnya jelas tidak pernah “menyerah” alias “mati”, bahkan mampu memunculkan model baru yang mampu mendesain pemikiran strategis dalam membangun komitmen perjuangan selanjutnya. Di Indonesia masih banyak ‘pengikutnya’ yang merevitalisasi perjuangan komunis sekalipun dalam bentuk dan corak yang berbeda.
Masih belum hilang dalam ingatan kita trategi G.30-S/PKI 1965 dengan kejam membunuh sejumlah putra terbaik bangsa para jenderal dikenal dengan pahlawan revolusi dan sejumlah anak bangsa yang lainnya. Akibat trauma sejarah itu, membuat sebagian anak bangsa ini masih sulit memberi tempat bagi komunis kembali bangkit, jangan sampai melakukan tragedi kemanusiaan yang lebih dahsat lagi. Tragedi kemanusiaan itu harus terus “diwaspadai” bukan berarti kita ‘pendendam’.
Kekuatan komunis di Indonesia secara politik dan organisasi memang mengalami kemandulan, bukan berarti komunisme telah mati. Marxisme dan Le-nimisme sebagai ideologi komunis jelas masih mempertahankan watak revolusionernya.
Dari generasi ke generasi, komunis tetap berkeinginan kembali sebagai kekuatan politik. Spirit perjuangannya di kancah politik, berjuang atas nama demokrasi selalu mencari ‘teman’ baru. Saat Orde Baru berkausa telah menutup rapat ruang gerak komunis, secara politis “dibumihanguskan”, tetapi aktivitas di bawah tanah dengan idiologinya tak pernah mati. Pelarangan komunis tertuang dalam UU No. XXV tahun 1966 tentang faham Leminisme dan Marxisme. Bersamaan dengan lengser keprabon-nya Orde Baru pro-kontrapun muncul, kerang demokrasi dan kebebasan berkumpul dan berserikat dibuka lebar, pemerintah Abdurrahman Wahid --- Gus Dur atas nama demokrasi dan HAM ingin mencabut Undang- Undang. Artinya, kekuatan itu masih dianggap “momok” atau “monster raksasa” yang mengancam kehilangan dupan bernegara. Sidang Tahunan MPR 2003 muncul arus besar yang mendorong agar UU pelarangan terhadap komunis itu dicabut, usulan itu belum disepakati yang disambut suka cita penentang kekuatan itu. Sedangkan keinginan merehabilitas nama baik Bung Karno, martabat bapak bangsa, proklamator diserahkan kewenangan ke eksekutif. Melalui perdebatan alot di MPR mayoritas masih ingin mempertahankan produk sejarah ‘generasi’ masa lalu.
Pro-Kontra keberadaan komunisme itu dianggap bertentangan dengan ideologi negara dan prinsip-prinsip demokrasi, akal sehat dan kehidupan beragama bangsa Indonesia. Proses politik masa lalu patut dihargai dan dihormati sebagai karya suatu generasi. Komunisme sebagai paham politik dan ekonomi semakin lemah bersamaan runtuhnya Uni Soviet, tapi belum menyerah atau mati. Sang sastrawan Taufik Ismail menyatakan bahwa “Komunisme hanya akan mati jika keadilan sosial yang mendatangkan kemakmuran bisa diwujudkan”. Artinya, semasih masyarakat miskin - kelaparan kemungkinan munculnya komunis itu cukup besar.
Kini, komunisme mengalami revisi besar-besaran melalui pandangan dan prakteknya di bidang ekonomi, sebagai paham politik yang masih hidup seperti : Vietnam, Kuba dan Cina. Kewaspadaan terhadap “monster raksasa” itu penting. Menurut Z.A. Maulani kewaspadaan itu diperlukan dalam dua hal : Pertama, mengenal tujuan dan ciri gerakan komunis khususnya di Negeri ini.
Kedua, memahami kebohongan yang selama ini dicoba ditegakkan oleh kaum komunis dan simpatisannya, bahwa PKI adalah “partai demokratik” yang tidak berdosa. Tidak lain hanyalah sekedar korban dari konspirasi lawan-lawannya. Kebangkitan kembali komunisme tentu tidak pernah terang-terangan memakai baju komunis. Ancaman bahaya laten komunis perlu ada ksiagaan bersama jangan sampai trauma sejarah masa lalu kembali terulang, karena setiap saat bisa saja melakukan tragedi kemanusiaan. Sebagian anggapan bahwa watak komunis dalam memperjuangkan demokrasi seringkali menghalalkan berbagai cara dengan menggerakkansegala upaya demi sebuah tujuan. Berdasarkan wataknya komunis dianggap sebagai kelompok radikal revolusioner menolak cara-cara dialogis. Kata Lenin, dialog itu “Cara-cara orang yang banci”. Sementara demokrasi di republik lebih mengedepankan budaya dialog. Dialog sejatinya sebagai proses mempersuasi orang lain dan membuka diri sendiri terhadap persuasi orang lain. Limas Susanto mengutip Stephen L. Carter menggarisbawahi peran kesantunan (civility) dalam perwujudan persuasi. Dialog harus mengedepankan kesantunan. Kalau kesantunan tiada, kemungkinan perwujudan persuasi dan kompromi menipis, dan keduanya digantikan oleh provokasi dan alienasi yang membuahkan perpecahan.
Dialog sebagai kerangka mencapai tujuan untuk menemukan jalan untuk memecahkan masalah.
Diakui atau tidak, secara idiologis komunis mungkin telah berakhir masa kejayaannya, tetapi faham sebagai teori akan tetap berkembang. Perjuangan komunis ini memang tidak pernah redup apalagi berakhir. Di era reformasi ini muncul Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai partai anak muda yang radikal yang menurut kebanyakan sebagai bagian dari gerakan kiri. Upaya mereka untuk mendapatkan simpati masyarakat melalui kegiatan LSM atau organisasi yang pada klimasnya melakukan pemberontakan. PRD itu pun mirip gerakan komunis. Kemunculan PRD telah membuka mata kita semua bahwa komunisme dan kaum komunis belum mati. Tipu daya kaum komunis mudah diterima masyarakat karena propagandanya menyangkut permasalahan yang emotif karena menyentuh langsung kebutuhan masyarakat banyak. Tema yang ditampilkan lebih pada keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Ratyono M.Sc. (Harian ABRI, 29/7/1999) dalam analisis politiknya bahwa PRD sebagai partai gurem yang tidak diminati rakyat atau diragukan, itu ternyata tetap ngotot menolak hasil pemilu. PRD mau berjuang untuk mensukseskan program partainya sendiri, apapun yang tidak sejalan dengan tujuan politiknya akan ditabrak alias “menghalalkan segala cara”.
Hal tersebut jelas, cara itu masih terlihat sampai sekarang. Penolakan terhadap kembalinya komunis ini memang tidak pernah redup apalagi berakhir. Upaya mendapatkan simpati melalui kegiatan LSM terus dilakukan sehingga pada klimasnya melakukan pemberontakan. Meminjam istilah Muhammad Natsir bahwa komunis itu ibarat srigala berbulu domba.
Potensi komunis itu kembali muncul cukup besar. Survei Majalah Tajuk dan CESDA LP3ES 1998 di Jakarta, Medan dan Surabaya mengungkapkan lebih dari 70 persen beranggapan bahwa komunis tetap merupakan ancaman. Untuk itu, kita harus menolak komunisme hidup dalam rahim Ibu pertiwi.*** Oleh Amal Saepul Badar