Sinjai, Media Tindak.Com-----Adanya berita terkait oknum wartawan yang di tangkap pada tanggal-07/02/2021 di kabupaten Enrekang, karena diduga menyebarkan berita hoax yang mana dalam beritanya melibatkan pemda Enrekang, kini menuai berbagai tanggapan dan sorotan dari berbagai pihak.
NURZAMAN RAZAQ (Praktisi pers di daerah ini) memberi komentar, bahwa berita itu cenderung mengarah pada pelanggaran etika penulisan sebagaimana dalam Kode Etik Jurnalistik dan UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Judul berita, “ Memalukan! Pemkab Enrekang Bakal Pinjam Uang Rp 516 Miliar Demi Bayar Gaji Tenaga Honorer". Kalimat “ Memalukan” bertendensi “mengejek, merendahkan, menghina” harkat pribadi seseorang . (pelanggaran pada pasal 6 KEJ).
Pada alinea kedua; Berdasarkan penelusuran updatesulsel.news, anggaran ratusan miliar itu akan cair tahun ini. Hal ini akan berimbas atau menjadi beban bagi Bupati selanjutnya yang mana akan membayarkan utang-utang tersebut. – pada kalimat ini, berimbas pada pengabaian praduga tak bersalah (pasal 7 KEJ), seakan hasil penelusarannya menyebutkan bahwa, ratusan miliar itu menjadi beban bagi Bupati selanjutnya. Yang menjadi pertanyaan, apa bisa dibuktikan kalau uang ratusan miliar itu menjadi beban bupati selanjutna. Data dan sumber darimana diperoleh dari hasil penelusuran tersebut. Seharusnya Ridwan melakukan konformasi kepada pihak terkait (pelanggaran pada pasal 5 KEJ).
Pada alinea keempat; “Terlalu memalukan Pemda Enrekang akan meminjam uang Rp 516 Miliar dari pemerintah pusat demi membayar gaji para tenaga honorer. Cukuplah DAK Rp 39 Miliar dari pemerintah pusat yang berakhir korupsi. Pada kalimat “ cukuplah DAK Rp39 Miliar dari pemerintah pusat yang berakhir korupsi”, Kemudian dia melanjutkan, “ Terlalu memalukan Pemda Enrekang akan meminjam uang Rp 516 Miliar dari pemerintah pusat demi membayar gaji para tenaga honorer. Cukuplah DAK Rp 39 Miliar dari pemerintah pusat yang berakhir korupsi. Ini juga akan menjadi beban kepada Bupati selanjutnya untuk membayarkan utang-utang tersebut,” ujar pemerhati Pemerintahan Kabupaten Enrekang, Ridwan, Selasa (1/12/2020).
Seharusnya Ridwan menggunakan kata “ diduga “ pada kalimat yang berakhir korupsi. Kata “korupsi” pada kalimat tersebut, menunjukkan Bupati Enrekang korupsi. Ridwan Sama sekali mengabaikan azas praduga tak bersalah (pasal 7 KEJ) dan mengabaikan pasal 5 KEJ, yakni tidak berimbang dan bertendensi sarat opini penulisnya serta tidak memperhatinkan perlunya sumber yang kridibel dan kompetensi sumbernya.
Pertanyaan, apakah Ridwan memiliki data dan sumber yang kredibel yang bisa sebagai pendukung keakuratan pemberitaannya terkait kata yang dilansir “ korupsi”.
Pada alinea kelima; Pada alinea ini, Ridwan dengan jelas beropini yang tidak menyadari kalau dirinya yang membuat berita tersebut. Sementara wartawan dalam membuat berita tidak dibenarkan mencampur adukkan antara opini dan fakta. Kalimat dengan mengatasnakan Ridwan yang berharap pemerintah pusat dan piha KPK mengevaluasi APBN dan dana Hibah yang masuk ke Kab.Enrekang…..”. Terdapat kerancuan dalam berita ini, dia yang membuat berita justru kenapa dia juga yang berkomentar atas apa yang diberitakan, sementara berita tersebut adalah straigh news. Terdapat kecendrungan, adanya indikasi berita sarat tendensius.
Kemudian Ridwan berkomentar, “ Bagi saya semua tidak bermanfaat bagi masyarakat menjadi musibabah pemerintah kabupaten Enrekang dan masyarakatnya,” ungkapnya. Komentar seperti ini mengarah kepada penyesatan ke publik yang dikhawatirkan kepercayaan masyarakat Pemkab Enrekang akan tidak baik.( mengabaikan pasal 3 KEJ).
Kesimpulan sementara,
1. Karya yang dilansir Ridwan, bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik
2. Karya tersebut, sama sekali bukan produk karya jurnalistik.
3. Sarat berita bohong
4. Karya tulis yang bisa menyesatkan masyarakat Enrekang untuk tidak percaya kepada pemerintahan daerah.
Karena itu sangat tepat jika penyidik menerapkan pasal berlapis dengan mejerat Ridwan dengan Pasal 45A Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) UU RI No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU No 11 tahun 2008, tentang ITE dan atau Pasal 45 Ayat (3) Jo Pasal 27 Ayat (3) UU RI No 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI Nomor 11 tahun 2008, tentang ITE.
Kalau pun kasus ini dilimpahkan ke Dewan Pers untuk ditelaah dan dicermati, kemungkinannya Dewan Pers menganggap berita yang dilansir itu, bukan karya jurnalistik. Apalagi mungkin, media yang bersangkutan belum terverifikasi di Dewan Pers.
Agak sulit penanganan kasus Ridwan yang dituntut banyak pihak agar merujuk dengan UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers. Karena Ridwan juga mengarah terhadap pelanggaran pasal-pasal yang terkandung dalam UU Pers tersebut, diantaranya pasal 3,5 dan 7. Antara KEJ dan UU Pers satu tarikan nafas yang tidak terputuskan. Yang mungkin bisa fatal, kalau media ang bersangkutan belum/tidak terverifikasi di Dewan Pers.
Pernyataan Bupati Enrekang, Muslimin Bando yang dilansir media pers, menunjukkan pernyataan yang hakiki sebagai saksi kunci dari pihak yang merasa dirugikan dan dicemarkan nama, harkat dan martabatnya sebagai pejabat publik.
Tinggal bagaimana Ridwan menyikapi dengan melakukan perlawanan hukum melalui pendampingan seorang penasehat hukum. Apalagi dalam kasus ini, Ridwan bukan dalam kapasita sebagai wartawan. Itu menurut penyidik di Polres Enrekang, dan pernyataan Bupati Enrekang yang menyatakan, Ridwan dilapor bukan sebagai kapasitas wartawan, tetapi informasi yang disebar sarat hoaks.
Sekiranya Ridwan menyadari kalau apa yang dirlisnya salah, keliru dan atau khilaf, tidak akurat, dengam kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat pemberitaannya. (Pasal 10 KEJ), tanpa harus menunggi Hak Jawab dan Hak Koreksi. Sebab Hak Jawab dan Hak Koreksi dalam UU Pers hanya diwajbkan (terikat) kepada wartawan. Sementara hak jawab dan hak koreksi pada masyarakat tidak mempunyai kewajiban atau tidak terikat dengan UU tersebut. Disinilah kelemahan pada satu sisi dari pembua UU Pers.
Pada pasal 10 KEJ, disebutkan, wartawan …… memberi kesempatan hak jawab secara proporsional kepada sumber atau obyek berita. Artinya, itupun kalau sumber atau obyek berita mau hak jawab. Disini sumber sama sekali tidak terikat dengan pasal 10 tersebut.
Pada Pasal 5 UU Pers ayat (2 dan 3) disebutkan, Pers Nasional Wajib melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi. Tidak ada pasal yang menyebutkan sumber atau obyek berita dan atau masyarakat wajib melakukan hak jawab dan hak koreksi**.
Sumber, Nurzaman Razaq
Reporter: M.Said Matoreang