KutaiTimur,kaltim,mediatindak.com--- Sengketa puluhan lahan milik kelompok tani Padaidi hingga saat ini tak kunjung selesai. Ironisnya pelaku penyerobotan lahan ini bukan dari kalangan usaha perkebunan berskala kecil, melainkan dilakukan oleh perusahan perkebunan swasta yang dikelolah dengan investasi cukup besar.
Seperti kasus penyerobotan lahan yang dilakukan oleh PT .SAWIT PRIMA NUSANTARA di RT 15 SP satu, Desa Bumi Etam, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Lahan milik kelompok tani yang digarap oleh warga sebagai lahan pertanian, yang juga agregat sebagai aset kelompok tani. kemudian semuanya diduga dicaplok oleh perusahan tersebut, dan di atas.lahan tersebut dipermak menjadi perkebunan kelapa sawit. Juga agrigat aset kelompok tani diambil untuk pengerasan badan jalan di areal perusahan tersebut.
Kronologi penggarapan lahan pada tahun 2002. Warga yang bernaung di kelompok tani padaidi mulai membuka dan menggarap hutan untuk lahan perkebunan yang beranggotakan 60 orang dengan menanam tanaman baik tanaman jangka pendek maupun tanaman jangka panjang, berupa singkong, pisang, padi, nenas cempedak, sayur mayur, Coklat, dan membangun rumah tempat tinggal.
Sedangkan hasil tanaman dijual kepasar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari. Asal mula lahan tersebut adalah hutan rimba kemudian digarap dan dikelola dengan baik secara terus menerus, sedangkan jumlah lahan yang dikelola sejumlah lima puluh tiga hektar.
Pada tahun 2014 perusahan menggarap lahan seluas 83 hektar namun tidak semua terbayar. Puhak kelompok tani padaidi juga menawarkan agrigat pada perusahan, namun jawabannya menolak lokasi tersebut karena banyak batu tidak layak ditanamin. Salah seorang kelompok tani berinisial SR setelah ditemui mediatindak menuturkan, bahwa awal mula pihak perusahan PT.SPN ingin mengganti rugi areal kelompok tani.
Setelah dilakukan pembebasan tahap awal, masih ada area kami di janjikan mau dibebaskan namu setelah itu tidak ada lagi lanjutan pembebasan tahap dua, termasuk yang sekarang ini agregat (batu), kami diambil pihak perusahan PT SPN sudah hampir setahun lebih belum ada pembayaran ganti rugi terhitung lebih tiga kali mediasi sampai sekarang tidak ada titik terang,"ujarnya.
"kita tetap berupaya untuk mediasi dikantor pusat PT.SPN di Samarinda," lanjutnya, "¡tapi semua nihil tidak ada hal positif yang kami terimah."lahan yang termasuk agregat diserobot perusahan seluas lima hektar, selama sembilan bulan sepanjang tahun 2018 rata rata perhari seratus ret, bahkan ada lahan kami yang penuh tanaman coklat yang sudah berbuah digusur tapi belum dibayar sampai sekarang," timpalnya lagi.
"kami juga pernah menghubungi Hadi, pengacara perusahan melalui via sambungan seluler yang kemudian menyatakan pihaknya siap bayar, katanya tidak usah buat masalah baru, mintanya berapa kami siap bayar," lanjutnya menjelaskan. Bahkan Sahman ,humas PT SPN pada kelompok tani menyatakan lahan yang ada agrigat batu benar belum dibayar oleh Perusahan.
"salama ini kami dijebak oleh perusahan, semua legalitas kami diminta oleh mereka namun setelah mendapatkan legalitas tersebut baru kami ajak jalur hukum. Orang yang seperti kami mana ngerti hukum.warga melalui kelompok tani padaidi berulang kali meminta perusahan segera menyelesaikan persoalan tersebut sehingga tidak berlarut larut, namun pihak perusahan tidak kooperatif menyikapi persoalan. seolah olah warga dipermainkan," ,tandasnya.
Manager PT SPN setelah ditemui oleh kelompok tani bersama awak media menyatakan pihaknya belum mengetahui hal tersebut.saya belum tau kejadian ini.ciba nanti saya hubungin humas dan pengacara perusahan karena mereka lebih tau;katanya.kasus penyerobotan lahan menjadi kasus hukum yg pailit dan kusuk.di tana air masalah yang sering terjadi adanya perbuatan melawan hukum berupa penyerobotan lahan dengan modus penerbitan dokumen sertivikat hak atas tanah oleh mafia dan pihak yg memiliki cukup uang dan berkuasa..
Kasus penyerobotan lahan bukan hal yang baru terjadi di Indonesia, padahal tindakan penyerobotan lahan (tanah), secara tidak sah adalah perbuatan melawan hukum yang dapat digolongkan sebagai suatu tindakan pidana. Kasus ini juga merupakan tindakan kriminal yang dapat merugikan hak hak para pemilik lahan dan diatur dalam pasal 385 Kitab Undang Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman penjara maksimal empat tahun.***Safrudin