Tasikmalaya, TINDAK---Sejak pandemi covid-19, sebagian siswa di dunia terpaksa harus melakukan belajar secara online. Proses ini ternyata tidak semulus yang dibayangkan oleh banyak pihak. Pasalnya, tak semua siswa memiliki ponsel pintar atau fasilitas lainnya untuk belajar online tersebut.(26/7/20).
Seperti halnya yang terjadi di Kampung Haurduni, Desa Tenjonagara, Kecamatan Cigalontang. Beberapa orang anak berusia 14 tahun ke bawah banyak yang diam di rumah dan main seharian karena tak memiliki TV atau ponsel. Ini membuatnya tak bisa mengikuti pembelajaran seperti yang seharusnya.
Dilansir dari keterangan orang tuanya siswa dan siswi tersebut, anaknya terkadang merasa terkucilkan dengan teman-temannya yang bisa belajar secara online sementara anaknya tidak.
Wartawan yang menelusuri hal tersebut, yakin anak-anak itu memang tidak mampu dan buta akan IT (lnformatika Telekomunikasi) . Ayah sang gadis yang hanya bekerja sebagai buruh harian, hampir tak ada penghasilan selama lockdown yang diberlakukan di daerah itu.
Pengakuan sang ayah, mereka memiliki TV di rumah tapi dalam keadaan rusak. Malangnya, pria itu juga mengaku tak memiliki uang untuk membelikan anaknya ponsel.
"Saya tak mampu membelikan anak saya ponsel pintar, dan untuk memperbaiki TV pun tak bisa," keluhnya.
Kejadian ini semoga sampai juga ke telinga Menteri Pendidikan dan stake holder terkait. Belajar kembali di Sekolah jangan sampai anak anak sekolah hanya berkerumun main game yang tak kalah berbahayanya.
Beberapa aktipis menyoroti ketidaksetaraan antara murid-murid di daerah miskin dan pedesaan yang jauh lebih kecil kemungkinannya dapat belajar secara online sejak lockdown dilakukan.
"Seharusnya siswa miskin dapat memperoleh komputer atau ponsel dengan pinjaman tanpa bunga untuk menghindari kasus serupa di masa depan," pungkas salah satu pengunjuk rasa ** Reporter: N Likasari
Seperti halnya yang terjadi di Kampung Haurduni, Desa Tenjonagara, Kecamatan Cigalontang. Beberapa orang anak berusia 14 tahun ke bawah banyak yang diam di rumah dan main seharian karena tak memiliki TV atau ponsel. Ini membuatnya tak bisa mengikuti pembelajaran seperti yang seharusnya.
Dilansir dari keterangan orang tuanya siswa dan siswi tersebut, anaknya terkadang merasa terkucilkan dengan teman-temannya yang bisa belajar secara online sementara anaknya tidak.
Wartawan yang menelusuri hal tersebut, yakin anak-anak itu memang tidak mampu dan buta akan IT (lnformatika Telekomunikasi) . Ayah sang gadis yang hanya bekerja sebagai buruh harian, hampir tak ada penghasilan selama lockdown yang diberlakukan di daerah itu.
Pengakuan sang ayah, mereka memiliki TV di rumah tapi dalam keadaan rusak. Malangnya, pria itu juga mengaku tak memiliki uang untuk membelikan anaknya ponsel.
"Saya tak mampu membelikan anak saya ponsel pintar, dan untuk memperbaiki TV pun tak bisa," keluhnya.
Kejadian ini semoga sampai juga ke telinga Menteri Pendidikan dan stake holder terkait. Belajar kembali di Sekolah jangan sampai anak anak sekolah hanya berkerumun main game yang tak kalah berbahayanya.
Beberapa aktipis menyoroti ketidaksetaraan antara murid-murid di daerah miskin dan pedesaan yang jauh lebih kecil kemungkinannya dapat belajar secara online sejak lockdown dilakukan.
"Seharusnya siswa miskin dapat memperoleh komputer atau ponsel dengan pinjaman tanpa bunga untuk menghindari kasus serupa di masa depan," pungkas salah satu pengunjuk rasa ** Reporter: N Likasari