Rakyat Berharap Mampu Membangun Birokrasi Desa yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi juga Nepotisme.
Oleh : R. Rahman Hadian |
Jika dibandingkan politik tingkat nasional dengan suasana demokrasi desa jelas sangatlah berbeda. Mengapa demikian? Karena jumlah lingkup pemilih yang kecil membuat politik pedesaan sangat kental terasa. Gesekan politik dengan segala intrik yang mewarnai akan sangat mudah menjadi letupan letupan pada konplik horizontal.
Politik pedesaan merupakan kontestasi politik yang sesungguhnya. Sebab, antara calon dan pemilih bersentuhan secara langsung. Bahkan tidak-tanduk calon sudah dikenali oleh masyarakat dengan baik. Bisa dikatakan bahwa demokrasi sejati sebetulnya ada di desa.
Orang-orang berlomba menjadi tim sukses untuk mendukung calon yang diusung. Karena sudah membudaya, antara simpati politik, politik duit, kedekatan dan ikatan saudara, bercampur dalam napas politik desa yang sangat kentara. Bahkan sudah logis dalam setiap pencalonan orang akan menilai kualitas sang cakades, bahkan akan dikorek sampai ke hal hal yang pribadi sekali pun.
Dibalik politik uang yang lumrah dalam politik desa. Ada sajian yang berbeda dari politik desa, yaitu kesediaan masyarakat untuk bertamu kepada setiap calon. Sebab di desa masih terjaga tradisi, calon kades membuka rumahnya setiap malam menjelang Pilkades. Tradisi seperti ini merupakan tradisi turun-temurun yang masih berlangsung sebagai budaya politik pedesaan. Tidak peduli dengan suka atau tidak sukanya kepada calon tersebut. Mayoritas masyarakat seperti bebas tidak terbebani pilihan politiknya terhadap salah satu calon tersebut.
Pilkades merupakan momentum bagi warga desa untuk menentukan pemimpinnya. Idealnya, sang pemimpin adalah sosok yang berkompeten, berintegritas serta mempunyai cita-cita memajukan desanya. Singkat kata, kades yang bermutu. Oleh karena itu, warga desa harus menggunakan hak pilihnya dengan jeli dan waspada tidak salah pilih!
Pilkades disebut damai dan demokratis jika tidak ditemui intimidasi atau bagi-bagi uang. Dengan begitu warga desa bebas memilih. Warga bebas memilih calon pemimpinnya dengan pikiran dan hati yang lebih jernih.
Dengan pikiran dan hati jernih, warga mestinya memilih calon kades yang bermutu. Bukan memilih calon kades yang ingin”mencari nama” atau calon kades yang bermaksud memperkaya diri dan keluarganya.
Idealnya pilkades akan menghasilkan sosok pemimpin yang mempunyai komitmen tinggi untuk memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat desanya. Di bawah kepemimpinan kades yang bermutu, pembangunan dan demokratisasi di desa tersebut akan lebih terbuka sehingga kesejahteraan dan kualitas hidup warga desa bisa lebih baik.
Momentum Pilkades sebenarnya titik pijak penentu lahirnya pemerintahan desa yang Local Good Goverment.Kades sebagai figure yang menjadi lokomotip di desa harus mumpuni, tidak boleh asal jadi.
Jika Pilkades berlangsung dalam situasi jujur adil dan minim praktek politik uang maka calon kepala desa yang akan terpilih berpelaung menjadi sosok pemimpin yang bersih dan mumpuni dalam mengelola pemerintahan desa, keuangan desa untuk kepentingan masyarakat.
Sebaliknya Jika Pilkades kental dengan Politik uang dan dipermainkan oleh kepentingan mafia lokal maka calon kepala desa yang terpilih akan tersandera kepentingan pribadi untuk melakukan praktek korupsi anggaran untuk mengembalikan biaya pemilihan pilkades.
Tidak bisa dipungkiri ada beberapa kepala desa yang terjerat pada arus Korupsi, Kolusi, dan manipulasi. Selain didorong oleh kepentingan pribadi untuk mengeruk keuntungan, juga terseret pusaran sistem yang koruptif. Hal inilah yang menjadikan "decay politic“pembusukan politik. Birokrasi desa pun berlumur dosa.
Modal uang yang dikeluarkan untuk memenangi pertarungan pilkades terkadang tidak rasional dan tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima kepala desa setelah duduk menjabat, Oleh karena itu, kesempatan kepala desa memainkan anggaran dana desa menjadi salah satu cara untuk mengembalikan modal besar yang dibelanjakan saat pilkades.